Berkat Naskah “Hikayat Tanah Hitu” karya Imam Rijali dan buku-buku karya Georg Eberhard Rumphius- lah kita hari ini bisa belajar dan meraba keadaan Pulau Ambon berabad-abad yang lampau khususnya jazirah utara Ambon yang menjadi fokus penulisan buku ini. Hal ini menunjukkan pentingnya sebuah karya tulis dari sebuah kerja penulisan. Apa yang dituliskan bisa menerobos ruang dan waktu ke masa depan untuk dibaca dan dikaji dan memberikan manfaat kepada generasi-generasi setelahnya. Kolonialisasi bangsa eropa, rempah dan Maluku, telah membawa perubahan besar dan radikal bagi konstelasi perdagangan dan tata dunia setelahnya. Sebuah rangkaian sejarah panjang baik pahit dan manis, baik narasi besar maupun narasi kecil yang berkelindan disekitarnya merupakan pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya.
Demikian pula dalam hal menuliskan Leihitu, termasuk ketika menuliskannya dari sisi arsitektur yang seumum-umumnya pun tidak akan bisa lepas dari konteks kesejarahan yang kuat dari sejarah kolonialisasi, komoditas dan perdagangan rempah dan keberadaannya di Kepulauan Maluku. Dalam perjalanan penulisan ini pada akhirnya harus terpapar dengan data-data dan sumber-sumber tertulis kesejarahan yang jauh melampaui dari sekedar Maluku dan sekitarnya, atau Nusantara dan sekitarnya, hingga harus merunut ke benua eropa tempat dimana perubahan dan guncangan besar tersebut berasal.
Bahwa peran Kepulauan Maluku dan Leihitu secara khusus dalam kesejarahan tidak terlepas dari konteks global dan geopolitik serta geostrategis yang menyertainya pada abad XVI hingga abad XVII. Era itu yang menempatkan rempah-rempah sebagai komoditas perdagangan premium dunia. Pun kondisi sosial, politik dan ekonomi di negara-negara eropa juga menjadi pemicu ekspedisi-ekspedisi pelayaran dan perdagangan tidak hanya ke Timur Jauh namun juga ke berbagai belahan dunia lain dimuka bumi yang pernah dijelajahi dan dikunjungi sebelumnya.
Maluku, dan secara khusus termasuk Ambon dengan jazirah utaranya yang disebut Tanah Hitu berada pada perlintasan, persimpangan dan perhentian dari alur perdagangan dan pelayaran sejak sebelum bangsa-bangsa eropa mencapai kepulauan Maluku. Itu semua karena komoditas rempah-rempahnya. Sehingga wilayah ini telah lama menjadi persimpangan berbagai bangsa.
Dalam kisah-kisah di berbagai negeri jazirah ketika menceritakan tentang asal–usul nenek moyangnya, selalu terdapat unsur pendatang dari luar Maluku dan dari pulau-pulau disekitarnya sebagai bagian dari konstruksi ‘orang pertama’/ ‘asal muasal’. Bahwa ke-multi etnis-an dan sikap terbuka terhadap pendatang juga penerimaan terhadap nilai-nilai baru yang bernegosiasi dengan nilai-nilai tradisi sudah menjadi keseharian bagi masyarakat -masyarakat pesisir kepulauan.
Maka dengan demikinan arsitekturnya pun adalah turunan dari hal-hal tersebut diatas. Ada tradisi yang masih bersemayam dalam arsitekturnya, ada nilai-nilai baru yang dipakaikan, ada hibrida antara keduanya yang itu bisa mewujud dalam satu tubuh arsitektur yang sama ataupun pada arsitektur yang berbeda-beda. Atau apa yang ditampilkan dalam arsitektur yang masih terjaga ataupun yang sudah berubah itu dapat dijadikan sebagai alat baca untuk memahami apa yang terjadi dan berpengaruh diluar arsitektur. Ada perajegan sekaligus perubahan dalam ruang dan waktu yang sama dengan kadar yang beragam.
Kontributor
Mohammad Cahyo Novianto
Mohammad Cahyo Novianto yang biasa dipanggil dengan ‘MADcahyo’, adalah arsitek yang berpraktek sejak 1999 dan terlibat dalam berbagai studi dan aktivitas tentang arsitektur dan urbanisme. la sudah terlibat pada sekitar 75 proyek arsitektur dengan skala beragam sambil tetap memberikan kuliah dan presentasi tentang arsitektur di beberapa universitas, seminar dan banyak forum diskusi. Cahyo juga melakukan…
Beberapa kelas Perjalanan Mengenal Indonesia lainnya bisa diakses di bawah ini: