“Cogito Ergo Sum”
—Rene Descartes
‘Jargon’ yang selalu membayangi pembahasan filsafat. Tapi apakah keberadaan seorang manusia hanya muncul saat dia berpikir? Tolak ukur manusia saat dia menggunakan otaknya? Bagaimana dengan organ lain seperti perasaan? Apakah otak rasional lebih tinggi dari pada perasaan hati?
Sejumlah pertanyaan dapat dilontarkan dari sebuah kalimat pendek Descartes, dan itulah esensi dari filsafat. Dalam teori filsafat terdapat empat nilai yang melandasinya, yaitu nilai otologik jika berbicara tentang obyek; nilai epistemologi jika berbicara tentang metode; nilai estetika jika berbincang tentang sistem; dan nilai etik jika berbicara tentang kebenaran yang dicapai.
Dari sini nampaknya filsafat adalah sebuah pengetahuan yang rumit dan membuat pusing kepala. Hal itu hanya nampaknya. Filsafat sebenarnya dapat ditempatkan sebagai sebuah tuntunan untuk berpikir lebih jernih, atau dalam tataran akademik, adalah cara berpikir ilmiah.
Dalam arsitektur, ada serial yang diterbitkan oleh Routledge dengan judul “Thinkers for Architects,” yang sampai akhir tahun 2019 ada 16 judul. “Architects have often looked to thinkers in philosophy and theory to find design ideas or in search of a critical framework for practice. Yet architects, and students of architecture, can struggle to navigate thinkers’ writings. It can be daunting to approach original texts with little appreciation of their contexts. And existing introductions seldom explore architectural material in any detail”.
Perspektif diatas adalah perspektif ilmiah dan nalar. Bagaimana jika perspektifnya perasaan, bukankah manusia tercipta dengan akal dan rasa? Mengapa ada ‘perasaan’ di sana, karena esensi filsafat adalah ‘cinta kebijaksanaan’. Ada kecintaan dan ada kebijakan, yang pasti tidak didapat dari ukuran rasional belaka. Itu yang membedakan antara manusia dengan artificial intelligence, sehingga sampai detik ini ‘manusia’ sebagai entitas yang utuh ‘belum’ tergantikan dengan aplikasi/sistem buatan/robot.
Bagaimana menjadi manusia yang punya perasaan?
Inilah yang membedakan dengan ‘ajaran Descartes’. Olah pikir adalah olah yang bersifat dialogis, olah yang mengadu ‘kemampuan pikir’ dengan ‘lawan pikirnya’. Ada pertarungan, ada diskursus. Sedangkan perasaan adalah lebih ke diri sendiri. Apa gunanya diri itu hidup? Untuk apa hidup? Apa yang bisa dikembangkan dari diri? Itulah yang akan diperbicangkan dan digali.
Kuliah tanggal 17.07.2020, diisi oleh Johannes Adiyanto, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Testimoni Peserta
Materi yang disampaikan menarik, dengan disajikan contoh – contoh referensi yang baik.
—Vincent
Bikin bingung haha, tapi menarik Karena mengajak berfikir
—Yuliana Susi Susanti
Membuka pemahaman baru yang perlu direnungkan lebih lanjut.
—George Marvin
Philosophy adalah sebuah dialektika baik kepada diri sendiri maupun sesama dalam rangka kecintaan terhadap ilmu dan kebijakan.
—Sandra Eka Febrina
Very clear and thorough, like reading a book
—Priscilla
Berikut ini adalah transkrip diskusi yang terjadi pada saat berlangsungnya kelas wacana Philosophy pada 17.07.2020, diisi oleh Apurva B. Dutta, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Pembicara
Johannes Adiyanto
Johannes Adiyanto adalah dosen Prodi Arsitektur FT UNSRI. Seorang penjelajah pengetahuan arsitektur, sehingga menyebut dirinya Cantrik Kehidupan. Lulus sarjana dari Universitas Merdeka Malang dan lulus program magister dari ITS Surabaya dengan topik tesis ruang arsitektural Jawa dengan dasar Lakon wayang. Pada disertasi -yang juga diselesaikan di ITS Surabaya- dengan judul “Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada Arsitektur Jawa, beliau mempelajari keterikatan antara arsitektur dengan filsafat, terutama filsafat Jawa. Di samping itu, Si Cantrik ini berkolaborasi dengan Realrich dalam penulisan buku; FEE, Cara Menulis Sejarah Arsitektur Indonesia, dan Craftgram. Johannes juga bergabung dengan beberapa lembaga, antara lain mAAN chapter Indonesia, LSAI,…