Apakah sejarah arsitektur, atau mungkin lebih tepatnya pendidikan sejarah arsitektur di Indonesia, sedang mengalami kerusakan sistem (broken system)? Tidak juga! Terkotak-kotakkan mungkin, tapi jelas tidak rusak. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana setidaknya ada dua kelompok besar dalam sistem ini; yaitu kelompok vernakular/tradisional yang berpatok pada taksonomi keilmuan global (world system), dan kelompok nusantara yang mencoba untuk membangun badan keilmuan yang lebih berkesetempatan.
Sebagai oposisi biner, kelompok pertama kemudian sering dipandang terlalu orientalis atau bahkan Eurosentris; sementara kelompok kedua sebagai ultranasionalis atau bahkan Jawasentris. Namun, menurut hemat penyaji: selama bisa disikapi dengan positif, kehadiran dua kutub dalam satu sistem ini justru menjadi suatu hal yang baik. Sebab secara konstruktif, keduanya kemudian dapat saling mengoreksi satu sama lain (check and balance). Sebuah kondisi yang justru termanifestasi di masa pandemi global, dengan ruang maya Zoom dan media rekam Youtube sebagai katalisator yang memfasilitasi terjadinya percepatan dialog antar kutub di lintas agensi.
Terinspirasi oleh karya seminal Indonesian Heritage: Architecture Volume yang disunting oleh Gunawan Tjahjono (1998), serial Webinar Kebhinekaan Arsitektur Nusantara yang diprakarsai oleh Josef Prijotomo (2020), dan sesi RCD LSAI Menata Nomenklatur dan Taksonomi Sejarah Arsitektur di Indonesia yang disajikan oleh Iwan Sudrajat (2021); penyaji kemudian mencoba untuk mulai mengkonstruksi sistem taksonomi alternatif. Sebuah jalan ketiga (the third way) yang diharapkan dapat mengubah sudut pandang sistem pendidikan sejarah arsitektur di Indonesia, dari yang bergaya oposisi biner, menjadi spektrum pemikiran yang tidak saling menegasi.
Dimulai dengan mendatangi kembali pintu-pintu yang sudah dibukakan oleh guru penyaji (alm. Galih Widjil Pangarsa), dan gurunya (alm. Dennys Lombard); sistem alternatif yang ditawarkan berangkat dari sudut pandang arsitektur sebagai salah satu produk kebudayaan. Di mana tanpa bermaksud mengkerdilkan aspek-aspek lain seperti aspek keteknikan dan kesenian, arsitektur kemudian didudukkan di antara ilmu-ilmu budaya/humaniora lainnya. Produk budaya sendiri didefinisikan sebagai sebuah warisan peradaban; di mana seiring dengan berjalannya waktu, sebuah peradaban bertumbuh kembang dan menghasilkan berbagai produk budaya. Akan tetapi, proses pengembangan kebudayaan tersebut juga terpengaruh oleh warisan-warisan peradaban lain; yang tidak hanya datang secara lintas geografis (misalnya dari negeri tetangga), tetapi juga secara lintas linimasa (misalnya dari peradaban moyangnya).
Pada dasarnya, warisan budaya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar yang meliputi: warisan budaya tak benda (intangible), dan warisan cagar budaya (tangible). Arkeologi menjadi ilmu yang menyediakan tolak ukur keaslian sebuah warisan cagar budaya. Sementara, sejarah memberi alat baca peradaban beserta konteks ruang dan waktunya. Namun, sebagai bagian dari kelompok hard (social) sciences, kedua ilmu budaya tersebut memiliki sifat keilmuan yang relatif kaku. Dengan yang satu berpatok pada kadar keaslian artefak, sementara yang lainnya bergantung pada keabsahan sumber tertulis. Sebaliknya, dengan menggunakan metode proyeksi figuratif (tektonika/stereotomika) dan konfiguratif (ragam pola situs/kawasan); arsitektur dapat dengan fleksibel membaca konteks warisan cagar budaya tanpa perlu memusingkan otentisitas obyek bacanya. Sehingga arsitektur pun dapat berperan sebagai jembatan yang menghubungkan peradaban dan latar belakang sejarahnya, dengan ragam arkeologis warisan kebendaannya.
Dalam sesi “Sejarah?” kali ini, penyaji akan menjelaskan tentang bagaimana eksperimen “integrasi Sejarah-Arsitektur-Arkeologi” dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah “jembatan ilmu peradaban”, tetapi juga secara komplementer membantu proses pembuatan “taksonomi jalan ketiga”. Sebagai sebuah penelitian berjalan (work in progress), sajian ini akan melanjutkan diskursus-diskursus yang pernah penyaji sajikan sebelumnya, terutama dalam sesi-sesi: OMAH Wacana Nusantara #3 (2020), OMAH Story of Style #1&3 (2020), RCD LSAI #5 (2022) dan Kluster 5 LNPSA LSAI XII (2022). Dan sebagai bagian dari serial “Fights for Architecture”, penyaji juga akan turut merespon materi-materi yang sebelumnya telah disajikan oleh: Undi Gunawan, Abidin Kusno, dan Revianto B. Santosa; serta berbagai komentar konstruktif yang telah disampaikan oleh: Yuswadi Saliya, Bambang Eryudhawan, dan M. Nanda Widyarta.

Untuk dapat mengakses kelas Fight for Architecture | Ep.11 Sejarah? – Eka Swadiansa anda perlu melakukan donasi melalui tautan berikut:
Akses kelas akan dikirimkan ke email atau Whatsapp yang didaftarkan.
Pembicara
Eka Swadiansa
Eka Swadiansa adalah principal dari Office of Strategic Architecture (OSA), founding member Global University for Sustainability (GU) dan kurator SPIRIT_45/47/55. Sebagai kurator; ia telah mengkurasi roundtable arsitektur di the Rise of Asia 2018 (Universite Paris 1 Pantheon Sorbonne & Universite Le Havre du Normandie), SPIRIT_45 (Sinar Fontaine Bartholdi, Lyon & ENSA Paris La Villette, 2018) dan SPIRIT_47 (Lingnan University Hong Kong, 2019) lecture, conferece and exhibition series.
Berapa kelas wacana Fight for Architecture in Broken Ecosystem lainnya bisa diakses di bawah ini: