Rangkuman oleh Satria A Permana
Dirangkum dari Kuliah tanggal 09.09.2021, diisi oleh Singgih Kartono, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Secara kontekstual, Singgih Kartono menempatkan dirinya sebagai masyarakat desa. Memutuskan kembali ke desa karena ketidakcocokannya dengan suasa kota yang riuh dan padat. Ia melihat desa-desa saat ini menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan karena banyaknya migrasi dari desa ke kota.
Singgih mereferensikan ramalan Alvin Toffler tentang kehidupan desa yang dapat terhubung secara global dengan adanya teknologi.
Saat pulang ke desa, Singgih merintis Magno Design sebagai titik mula upaya usaha di desa. Sebenarnya dimulai dari tugas akhirnya tentang pembuatan Radio dengan proses yang sarat akan budaya Indonesia, seperti menggunakan material non-konvensional. Singgih memilih kayu karena keakrabannya. Magno adalah upaya kritis Singgih merespon over-consumerism dengan desain-desain yang timeless (basic, simple, functional, good detail and proportions.)
Dari praktiknya di Magno, Singgih sadar akan pentingnya keberlanjutan. Dari kayu, ia menemukan tiga hal: hidup dan kehidupan, keseimbangan, dan tentang batas. Ancaman keberlanjutan adalah manusia. Manusia menjadi sosok sentral dalam arah keberlanjutan Bumi secara kolaboratif. Memberikan hal positif ke alam dan sebaliknya.
“Menjadi desainer (atau apapun) adalah pengetahuan yang luar biasa, namun juga berbahaya. Gunakan hanya 10% darinya, dan 90% sisanya untuk melestarikan lingkungan.”
Spedagi (sepeda pagi), adalah rutinitas Singgih bersepeda di pagi hari. Dalam perjalanannya, ia menjumpai rumpun bambu di desanya, yang membuatnya menemukan dengan sepeda bambu dari luar negeri. Negara tanpa bambu, namun punya produk yang berkualitas. Ia kemudian mencoba bereksperimen membuat sepeda bambu lokal. Mulai dari sambungan-sambungan menggunakan serat, hingga akhirnya memilih besi untuk mengikat rangka bambu sepeda. Lokalitas akan melahirkan originalitas dengan melewati batasan yang ada, seperti teknologi, material dan budaya.
Spedagi memperoleh penghargaan Good Design Award di tahun 2018. Yang membuatnya menang, menurutnya adalah upayanya sebagai gerakan sosial dengan nama yang sama. Datangnya orang-orang luar ke desa untuk mencoba Spedagi, menjadi peluang untuk bisa mendapatkan sumber daya manusia dan bekerjasama dengan masyarakat desa untuk menghadapi persoalan. Talenta-talenta lokal muncul karena terpicu oleh hal ini.
Spedagi Movement memiliki cita-cita yang besar. Salah satunya, terwujudnya populasi yang berimbang antara desa dan kota. Jadi pondasi dan laboratorium keberlanjutan kehidupan secara gotong royong. Singgih melihat hal ini juga terjadi di banyak tempat. Kemudian ia menyelenggarakan International Conference in Village Revitalisation yang sudah berjalan sebanyak 3 kali.
Pasar papringan adalah upaya revitalisasi desa dengan pendekatan kreatif. Lahan-lahan nir-produktif hingga menjadi lumbung sampah menjadi salah satu alasan mengapa Papringan ada. Setelah itu, Singgih memulai pemetaan, analisa, dan eksperimentasi. Ideasi dan solusi adalah tahapan krusial dalam proyek sejenis. Diwarnai dengan proses kolaboratif dan partisipatoris.
Cyral-Spiriterial adalah rangkuman perjalanan Singgih sebagai sebuah manifestasi. Cyral = city rural, spiriterial = spirit material. Terinspirasi dari SLOC (small local open connected), menurutnya sangat cocok untuk era post-industri. Dunia bermula dari era spiritual, yang surut karena revolusi industri. Manusia berada di titik konsumerisme dengan kosongnya nilai batin. PBB berupaya kembali ke titik tengah dengan kampanye SGD. Spiriterial ini adalah arah membawa kehidupan masa lampau yang sedang dituju saat ini.
Indikasinya adalah munculnya hal-hal yang mulanya bertentangan, kini berkawan baik dan bekerja sama. Seperti social enterprise, goverment-community, human centered menjadi human-nature, dan dari compete menjadi cohelp. Nilai-nilai era post-industri ini sangat sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Kerjasama desa dan kota menjadi keniscayaan untuk mengobati sumber permasalahan habitat manusia saat ini. Keseimbangan antar keduanya, dan upaya-upaya generasi muda yang berkesadaran jadi pijakan yang vital.
Singgih Kartono memulai dari desa, sebuah konteks yang dianggap kurang menguntungkan. Dari kebaikan yang ada dari nilai Cyral-Spiriterial, ia masuk untuk menjaga keseimbangan alam. Ada beberapa poin penting, yaitu global mutual corporation. Kerjasama internasional dengan kesetaraan dan gotong royong. Sejarah cukup untuk diketahui, dan generasi baru untuk perlu merubah. Berkaitan dengan arsitektur, era-era post industri adalah hal yang niscaya. Berintegritas dengan apa yang diyakininya, membuatnya dapat sampai ke titik ini.