Wacana Nusantara – 06 Cerita

Storytelling atau “menyampaikan cerita” sesungguhnya bermula dari Tradisi Lisan. Menyampaikan cerita berarti bercerita atau menceritakan secara langsung dengan lisan. Di sinilah kita bisa menggali lagi otentisitas storytelling yang berpijak pada tradisi lisan, yang berbeda dengan storytelling dari Tradisi Tulisan.

Dalam tradisi tulisan, ketika kita berhadapan dengan cerita, kita memposisikan cerita seperti “membaca buku”. Misalnya ketika menonton film, atau menonton opera, para penonton harus “diam” dan menyimak jalannya cerita yang dibuat oleh sutradara, dan tak mungkin bisa untuk mengubah jalannya cerita dan tidak bisa ikut “mewarnai” jalannya cerita. Persis seperti membaca buku, pembaca hanya pasif, menyimak apa yang dikisahkan oleh pengarangnya. Ceritanya demikian “rigid” karena sudah sesuai plot yang dibuat pengarang.

Sedangkan dalam tradisi lisan, para penonton bisa ikut “terlibat” dalam cerita yang ditampilkan, seperti dalam Ludruk atau Lenong, penonton bisa sangat “aktif” berkomentar atau nyeletuk.

Bahkan, penonton bisa ditarik ke atas panggung untuk ikut “mewarnai” jalannya cerita. Persis seperti orang yang bercerita langsung, terjadi dialog, saling menimpali, tanya-jawab, protes, tak puas, bahkan juga pergulatan ingat dan lupa. Ceritanya cukup “longgar”, hanya garis besar saja, terbuka untuk improvisasi-improvisasi, entah dari penonton, penabuh atau bahkan orang yang lewat (orang gila pun bisa nimbrung!)

Bagaimana dengan arsitektur? Arsitektur dalam pandangan umum ilmu arsitektur juga dibuat (oleh arsitek) seperti menulis buku, dan pengamat melihat karya seperti membaca buku: hanya menyimak cerita, tak bisa mengubah apa-apa. Mungkin hanya bisa mengapresiasi atau mengkritik. Apakah mungkin membuat dan melihat arsitektur seperti Ludruk atau Lenong? Dengan melibatkan semua entitas yang ada di sekitarnya untuk masuk dalam cerita yang dibuat arsitek? Masih mungkin. Ketika arsitek sudah berhasil melepaskan Aku-nya, maka sebenarnya dia “mempersilakan” semua yang di luar untuk masuk dan ikut mewarnai cerita karyanya: klien, tukang, kuli, tetangga, toko bangunan, orang lewat, tukang bakso, maling, pohon-pohon, rumput liar, bahkan juga semut dan kecoa


Testimoni Peserta

Cerita Mas Anas luar Biasa, butuh pemahaman yang mendalam untuk mengaktifkan logika dan intuisi dalam berarsitektur
-Luthfiah-

Diskusi yang mencerahkan .
-Nuruddin Al Akbar-

Materi2 dan diskusi nya sangat menarik…tp mgkn perlu ada penanggap, mgkn dari panelis lain sehingga pemahaman kt tdk dibawa pd logika subjektivitas dr 1 panelis saja. Mis. P Revi bs menanggap materi mas Anas atau sebaliknya. Terima kasih
-Uray Fery Andi-

Baik dan menarik
-MOH. FACHRUDDIN SUHARTO-

Cerita/mitos/legenda nusantara ini sangat penting untuk arsitektur. Bagi masyarakat lokalnya memang sangat dipercayai, dijaga, dan diimplementasikan nilai-nilainya. Bagi Kita sebagai masyarakat yang sudah lebih banyak terkena modernisasi, ternyata cerita nusantara tersebut sangat penting untuk konsep desain arsitektur, dan terbukti di tingkat sayembara desain pun nilai-nilai filosofis cerita nusantara memiliki nilai tersendiri. Sehingga untuk acara selanjutnya sangat menarik untuk membahas penting dan implementasinya cerita nusantara bagi konsep desain.
-Teva Delani Rahman-


Anas Hidayat

Anas Hidayat Seorang arsiteks (arsitek dengan teks) yang lahir pada 7 Oktober 1973. Pendidikan dasar hingga menengah diselesaikannya di kota kelahirannya di Kediri, yang dibelah oleh Kali Brantas dan terletak di antara Gunung Wilis dan Gunng Kelud. Kemudian menempuh pendidikan tinggi arsitektur di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya antara tahun 1992-1999, pendidikan S2 (magister)…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s