Pada acara Kelas Tua-Tua Kakatua yang diadakan pada Minggu, 25 Agustus 2024, Judy Pranata yang akrab dipanggil Judy berbagi pengalamannya dalam membentuk YYAF (Yogyakarta Young Architect Forum), sebuah wadah diskusi dan berbagi di kalangan arsitek muda untuk menghadapi keresahan dalam dunia arsitektur. Perjalanan ini dimulai setelah ia lulus pada tahun 2013, ketika Judy merasakan adanya kekosongan dalam kontribusinya terhadap profesi ini. Setelah beberapa tahun bekerja di dalam dan luar negeri, ia memutuskan untuk membentuk biro arsitektur di Yogyakarta. Mengelilingi dirinya dengan banyak kampus di Jogja, Judy terdorong untuk berbagi ilmu. Namun, ia merasa semakin resah, terutama dengan pertanyaan “Apa kebermanfaatan saya?” yang terus terngiang. Keresahan ini mendorongnya untuk mencari jawaban, salah satunya dengan bertemu dengan Pak Eko Prawoto yang akhirnya memberikan banyak inspirasi dalam proses pencarian makna keberadaannya di dunia arsitektur.
Judy mengungkapkan bahwa, dari pertemuan-pertemuan dengan Pak Eko, ia mendalami tiga isu besar yang terjadi di dunia arsitektur, yaitu akademisi, praktisi, dan birokrasi. Menurut Judy, akademisi banyak berdiskusi tetapi jarang berkarya, sementara praktisi lebih banyak berkarya tetapi jarang berdiskusi. Sedangkan birokrasi, di sisi lain, tidak berwacana dan tidak berkarya. Hal ini menjadi pencerahan bagi Judy bahwa arsitek muda seperti dirinya berada di persimpangan antara ketiga peran tersebut dan perlu mencari tahu apa yang bisa mereka kontribusikan.
Proses terbentuknya YYAF dimulai dengan upaya untuk membangun network melalui pertemuan-pertemuan informal, di mana Judy mengundang teman-teman arsitektur dan dibantu oleh dosen penting seperti Pak Joko Istiaji dari Universitas Atma Jaya. Melalui langkah ini, jaringan arsitek muda berkembang dan menghasilkan diskusi tentang berbagai topik, mulai dari urban desain, lanskap, interior, hingga desain dan proyek arsitektur. Pada fase pertama ini, database teman-teman yang terlibat berkembang pesat hingga mencapai 35 orang.
Pada fase kedua, terjadi perbincangan mengenai harga jasa arsitektur, yang pada saat itu banyak ditemukan iklan jasa desain arsitektur murah, bahkan gratis. Perhatian ini kemudian mengarah pada pertanyaan mendalam tentang bagaimana menentukan harga jasa yang ideal. Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, Judy mengundang Mas Ary Indra dan Ketua IAI DIY, Pak Ahmad Saifudin, untuk memberikan pandangan tentang standar dan etika profesionalisme arsitek.
Fase ketiga melibatkan diskusi mengenai branding. Judy mengajak teman-teman dari Jakarta untuk berdiskusi dan mencari titik tengah dalam menciptakan citra yang tepat bagi biro arsitektur di Yogyakarta. Branding yang kuat menjadi penting agar arsitek muda tidak hanya dikenal karena karya, tetapi juga reputasi yang dibangun.
Pada fase keempat, YYAF mengadakan Meeting Marathon #4 untuk membahas identitas desain, yang melibatkan narasumber dari berbagai aliran desain, seperti Revano dari MSSM Associate yang mengusung dekonstruksi geometri, Andyrahman Architect dengan pendekatan berbasis bata, dan Gayuh Budi Architect yang mengedepankan daur ulang. Diskusi ini mengarah pada pemahaman lebih dalam tentang bagaimana membangun identitas desain yang kuat bagi para arsitek muda.
Selanjutnya, di fase kelima, YYAF menggelar pameran pertama yang diberi nama YAX and Liberating Space, sebagai contoh penerapan dari apa yang telah dipelajari dan dibahas dalam forum-forum sebelumnya. Fase keenam mencakup beberapa topik terkait consciousness, kolaborasi, skala dan proporsi, serta detail desain yang sering terabaikan.
YYAF terus berkembang dengan mengadakan berbagai pertemuan, seperti Meeting Marathon #5 yang membahas “Consciousness” dan mengajak peserta untuk peduli terhadap kampung dan desa, Meeting Marathon #6 tentang “Collaboration” yang mengupas metode kolaborasi untuk mencari solusi yang lebih baik, Meeting Marathon #7 dengan topik “Scale and Proportion” yang membahas perbedaan dalam pandangan arsitektur, serta Meeting Marathon #8 yang fokus pada isu “Detail” yang sering terabaikan. Selanjutnya, Meeting Marathon #9 berbicara tentang “Pandemic” dan curahan hati para arsitek, Meeting Marathon #10 dengan tema “How” yang memberi ruang untuk pertanyaan bebas, Meeting Marathon #11 mengenai “Cost” untuk memahami biaya jasa dan branding biro, Meeting Marathon #12 tentang “Legacy” yang menggali kekuatan rasa kehilangan, dan Meeting Marathon #13 yang mengajak peserta untuk kembali ke titik awal dengan tema “Dot”. Setiap pertemuan ini tidak hanya membahas masalah teknis, tetapi juga mengeksplorasi peran sosial arsitek dalam komunitas mereka.
Dalam sesi diskusi, Judy merespon pertanyaan dari para peserta yang ingin tahu lebih banyak tentang tantangan dan perkembangan arsitektur di Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa meskipun banyak pengaruh luar yang masuk ke Jogja, ada upaya dari para arsitek muda untuk tetap mempertahankan elemen-elemen desain tradisional yang mencerminkan identitas kota tersebut.
Judy juga menekankan pentingnya regenerasi dalam YYAF, agar forum ini tetap berjalan lancar dan tidak bergantung hanya pada pendiri atau senior. Menurutnya, untuk menjaga kesinambungan, dibutuhkan adanya satu individu yang bisa menjadi pemantik kesadaran dan semangat bagi generasi selanjutnya.
Melalui forum ini, Judy berharap dapat mendorong kolaborasi antara arsitek muda dari berbagai kota di Indonesia. Meskipun YYAF dimulai di Yogyakarta, ia percaya bahwa nilai-nilai yang dibangun dalam forum ini bisa diterapkan di kota-kota lain. Judy juga menekankan pentingnya memahami konteks lokal dalam setiap karya arsitektur dan membuka ruang bagi perbedaan pendapat untuk saling belajar dan berkembang bersama.
Dalam rangka mendukung gerakan ini, YYAF berusaha menjaga keberlanjutan dengan menyediakan jalur dan data bagi para arsitek muda yang ingin melanjutkan perjuangan ini, agar tidak terhenti begitu saja. Dengan ini, forum YYAF diharapkan dapat menjadi wadah yang bermanfaat dan menginspirasi lebih banyak arsitek muda di Indonesia untuk terus berinovasi dan berkolaborasi dalam menghadapi tantangan dunia arsitektur yang terus berkembang.
Berikut isi sesi tanya jawab dalam kelas ini:
Sesi Diskusi Bersama Penanggap.
Yolanda:
Satu hal yang ingin saya ketahui, setelah bertemu banyak teman yang berpraktik di Jogja, apa saja permasalahan yang ada di sana? Karena pengalaman saya ke Jogja, pemainnya sedikit tetapi peminatnya banyak. Misalnya, arsitek dengan peminatan seni, seperti sastra. Bagaimana kontribusinya dalam konteks arsitektur?
Judy Pranata:
Teman-teman saya, beberapa di antaranya bergerak di bidang kebudayaan, misalnya di Keraton. Ada juga arsitek dengan komposisi desain yang lebih variatif. Memang, sejak 2013 mulai terlihat adanya pengaruh Jakarta dalam arsitektur di Jogja. Berkat kemajuan teknologi, kita bisa membandingkan berbagai desain dengan mudah. Topik ini pernah dibahas di Consciousness, dalam Meeting Marathon kita. Pada prinsipnya, perubahan itu ada, dan bisa jadi topik diskusi kita mengenai “seberapa Jogja kita?” Saat ini, banyak ditemukan pencampuran desain, meskipun tidak banyak. Namun, ada sebagian yang mulai memperhatikan langgam dan pakem arsitektur Jogja.
Widi Cahya Yudhanta:
Sebelum 2012, desain di Jogja terasa sangat khas. Namun, setelah gejolak politik dan perizinan yang lebih terbuka, Jogja mengalami perubahan signifikan dalam peta keruangannya. Keadaan ini juga disebabkan oleh fakta bahwa Jogja menjadi tujuan wisata utama, yang menarik banyak investor. Perubahan kebijakan politik terkait ruang juga turut berperan dalam perubahan tersebut.
Judy Pranata:
Saya ingin menambahkan soal DIY, di mana ada fase baru terkait lisensi arsitek. Hal ini akan melibatkan lebih banyak arsitek Jogja dalam proses perizinan. Jadi, bagi arsitek luar yang mendesain bangunan di Jogja, perlu mempertimbangkan kajian budaya dan kultural setempat.
Lulu:
Terima kasih, Bu Jo, atas pandangan yang membuka wawasan mengenai ruang kota Jogja. Saya sendiri pernah kuliah di UII pada 2012-2013, dan saya menyaksikan banyak unjuk rasa terkait penolakan pembangunan hotel. Waktu itu, saya benar-benar merasakan suasana tersebut, dan ketika kembali ke Jogja, saya selalu penasaran, “seberapa Jogja sekarang?”
Pertanyaan dari Teman-Teman
Erik Ramadhan:
Setelah kembali ke kampung halaman, Bangkalan, saya merasa kota ini banyak dipengaruhi perkembangan yang terjadi di Suramadu. Namun, arsitektur di sini seringkali tidak sejalan, dan banyak komunitas yang resah. Kami tidak memiliki tempat untuk berdiskusi atau perlindungan. Saya berharap Bangkalan bisa berkembang tanpa kehilangan budaya lokal. Bagaimana pendapat Mas Judy?
Judy Pranata:
Arsitektur itu tidak harus selalu sama, dan ketidaksamaan justru bisa menarik. Biasanya, membahas isu sambil makan bareng bisa lebih efektif. Mungkin di Bangkalan cara kita berbeda, namun isu dan konteksnya bisa menjadi diskusi menarik. Kalau Mas Eric butuh bantuan, kita bisa diskusi lebih lanjut melalui Zoom.
Lulu:
Dari jawaban Pak Judy, kita bisa melihat bahwa Forum YYAF tidak hanya ada di Jogja, tetapi terbuka untuk kota lain. Terima kasih sudah membuka koneksinya.
Judy Pranata:
Mba Lulu, Forum Arsitek Muda sudah ada di Banjarmasin, Banjarmaasin Young Architect Forum. Kemajuan kota bisa dilihat dari bagaimana arsitek saling terintegrasi, dan ini akan lebih mudah jika sudah ada jejaring.
Tanggapan
Eka Swadiansa:
Saya ingin mengapresiasi Pak Judy dan rekan-rekannya atas perjalanan panjang selama 10 tahun ini. Kalau ini hanya motif pribadi, saya rasa tidak akan berlangsung lama. Proses panjang seperti ini memerlukan rasa ingin kepemilikan dan komitmen yang tinggi. Saya ingin mengangkat isu budaya, khususnya terkait Jogja yang memiliki dana keistimewaan. Jogja memiliki keunikan dalam menghidupkan kembali bangunan-bangunan lama yang hilang. Ini sangat penting agar kita bisa mempertahankan budaya, sambil menghadirkan hal-hal baru. Saya berharap ada langkah-langkah untuk melibatkan arsitek lokal agar visi kita ke depan lebih terarah.
Eka Swadiansa:
Suara-suara dari luar Jakarta dan Bandung sangat penting. Kita perlu peran pemerintah setempat dalam penyelenggaraannya. Saya juga mengagumi mereka yang konsisten dalam gerakan ini, karena itu akan melahirkan metode dokumentasi baru dari orang-orang yang baru.
Judy Pranata:
Saya tidak banyak bergerak di bidang pemerintahan, dan saya juga ada ketakutan tersendiri terkait hal ini. Mungkin Mas Widi bisa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Widi Cahya Yudhanta:
YYAF memang memiliki beragam latar belakang, ada yang dari pemerintah dan ada yang dari pribadi. Jogja sangat unik dalam hal pendanaan, seperti proyek Malioboro yang hampir sepenuhnya menggunakan dana istimewa. Mengeluarkan dana ini memang tidak semudah itu, karena harus ada keterkaitan dengan kebudayaan.
Judy Pranata:
Dana istimewa memang ada, namun hanya orang tertentu yang bisa mengaksesnya.
Judy Pranata:
Kunci utama di sini adalah menghindari kompetisi. Sejak 2016 hingga kini, saya belum menemukan konflik besar, hanya keluhan-keluhan saja. Pasar arsitektur pun sudah terbentuk dengan sendirinya.
Judy Pranata:
Yang terpenting dalam berkontribusi di kota adalah kesediaan untuk berkorban waktu, tenaga, dan pikiran. Mencari orang seperti ini memang tidak mudah, tetapi jika satu orang bisa membuka kesadaran, itu bisa menjadi pemantik untuk yang lain. Di semua kota, kita perlu satu orang yang berkorban untuk memulai.
Lulu:
Saya teringat saat pertama kali bertemu Mas Adim dari Bangkalan, yang akhirnya mempertemukan saya dengan AMUBA. Pertemuan itu sangat bermakna. Mewakili teman-teman, saya ingin bertanya, dari mana saja support system untuk forum ini?
Judy Pranata:
Saya mengambil banyak sudut pandang, salah satunya dari temen-temen kreator yang mengumpulkan arsitek. YYAF bukan komunitas, tapi forum. Dengan begitu, saya berharap tidak menjadi beban organisasi. Pendanaan awalnya berasal dari kantong saya, tapi pelan-pelan kami mendapatkan sponsor dan dukungan. Yang penting bukan keuntungan, tetapi acara bisa berjalan dengan baik.
Lulu:
Saya juga menyoroti pentingnya regenerasi agar forum ini terus berjalan.
Judy Pranata:
Arsitek muda belum ada batasannya. Jika tidak ada inisiatif dari diri sendiri, roda perkumpulan bisa berhenti. YYAF sudah mempersiapkan jalur dan data untuk membantu regenerasi agar tidak terhenti di tengah jalan.
Lulu:
Sebagai pendiri, Mas Judy dan pendiri lainnya tetap diperlukan untuk menjaga forum ini tetap netral dan tidak terpengaruh kepentingan.
Lulu (membcakan tanggapan dari Mba Yuliana Susi):
“Izin menanggapi dan mengucapkan terimakasih untuk YYAF, terkhusus mas Judy. saya sangat ingat bahwa tim YYAF selalu ingin bertemu jika ada sesuatu yang ingin menggeliti. Sebagai pribadi arsitek saya merasa terbantu bahkan ketika Sekarang saya sudah berpraktik di Jakarta nilai-nilainya masih ada sebagai pegangan saya. Tadi sebelum seminar saya ingin meminta Mas Judy meng-hlight proses pencarian ini rupanya beliau sudah mengemasnya secara apik dan runtut. Semoga teman-teman bisa menangkap banyak dari presentasi ini.”
Judy Pranata:
Saya ingat Mba Susi, waktu itu kami menerima bibit bunga sejumlah tamu yang hadir. Bibit bunga Lili kalo tidak salah. Dari sini, saya rasa kontribusi temen-temen lebih menyenangkan, dimana sponsor ini bukan berupa uang tapi berupa tanaman.. Saya berharap Mba Susi bisa kembali ke Jogja dan membantu meneruskan. Logo YYAF saya bagikan dengan bebas, selama acara memberi manfaat. Forum ini milik semua orang, dan saya berharap generasi berikutnya bisa mengambil alih tanpa harus diganggu seniornya.
Kesimpulan:
Harapan kita semua adalah menciptakan formula yang bisa diterapkan di kota lain, seperti yang dilakukan Mas Cahyo dengan jaringan arsip arsitektur Indonesia. YYAF mungkin lebih fokus pada gagasan, tetapi outputnya berbeda. Yang perlu kita soroti adalah bagaimana forum ini tidak hanya memberikan nasihat, tetapi juga bergerak untuk memberi manfaat nyata bagi orang lain. Semangat kebersamaan dan saling mendukung adalah kunci untuk ekosistem arsitektur Indonesia yang lebih baik.
Saya rasa gerakan-gerakan seperti ini atau spirit seperti ini kita butuhkan untuk dunia arsitektur Indonesia atau ekosistem arsitektur Indonesia yang lebih baik dan lebih sehat gitu ya Mas. Mungkin bahasanya itu lebih guyub gitu ya, yang saling support satu sama lain. Dan semoga video ini didengarkan teman-teman yang dari kota-kota lain juga.
Acara yang berlangsung selama dua jam ini ditutup dengan info singkat terkait kelas-kelas yang akan datang dan sesi dokumentasi. Selamat menyaksikan videonya di kanal Youtube Omah Library.
Tentang OMAH Events lainnya di bawah ini:










