Summary | Tua-Tua Kakatua Season 2 Ep. 3 Pusat Dokumentasi Arsitektur with Nadia Purwestri

Dalam sesi kelas Tua-Tua Kakatua yang diadakan pada Minggu, 14 Juli 2024 yang lalu, Nadia Purwestri berbagi sedikit cerita perjalanan PDA (Pusat Dokumentasi Arsitektur) sebagai sebuah lembaga independen yang melayani riset dan pendokumentasian arsitektur cagar budaya di Indonesia. Dalam kepentingan konservasi, PDA berperan membantu dalam perencanaan dan pengadaan dokumen pra-konservasi. Kebanyakan bangunan cagar budaya yang ada di Indonesia tidak memiliki as built drawing yang dapat dijadikan acuan dalam pengerjaan pemugaran. Kalaupun ada, kondisi eksisting bangunan sudah tidak lagi sesuai dengan dokumen yang ada. Adanya perubahan-perubahan yang pernah dilakukan terhadap bangunan cagar budaya juga menjadi penting untuk diketahui dalam proses pemugaran.

Dalam rangkaian kegiatan konservasi, ada 4 hal yang setidaknya dilakukan oleh PDA:

  1. Dokumentasi
  2. Perencanaan
  3. Implementasi
  4. Diseminsi

Tahap dokumentasi mencakup kegiatan identifikasi, inventarisasi, pengukuran, dan penggambaran kembali. Periset biasanya akan membuat terlebih dahulu gambar mal untuk menandai bagian-bagian yang perlu diukur. Pengukuran dapat dilakukan secara manual maupun digital, tergantung pada bagian yang akan diukur. Tidak semua detail dapat diukur secara tepat menggunakan pengukuran digital. Gambar mal beserta hasil pengukurannya ini kemudian akan digambar kembali secara lebih presisi menggunakan CAD. Dokumentasi termasuk juga pendataan elemen-elemen, seperti pintu dan jendela, serta pemetaan material.

Dalam proses dokumentasi, dilakukan juga riset sejarah, seperti mengenai alasan bangunan tersebut dibangun. Dalam riset ini, terkadang periset dapat menemukan informasi selengkap-lengkapnya hingga data arsitek, kontraktor, supplier, dan data perubahan-perubahan, atau bahkan justru tidak menemukan apa-apa. Seringkali juga dilakukan riset lebih jauh, seperti uji material, struktur, dan penggalian pondasi, dengan bekerja sama dengan pihak-pihak ahli lainnya yang terkait. Pengujian sampel material perlu diuji agar pemugaran dapat dilakukan dengan menggunakan material-material serupa atau material yang bersenyawa baik dengan material aslinya.

Di samping riset dan pengukuran, pendataan juga dilakukan terhadap kerusakan-kerusakan eksisting pada elemen bangunan. Semua hasil riset, pengukuran, pemetaan, dan diagnosis kerusakan akan dipakai untuk merumuskan perencanaan pemugaran.

Perencanaan pemugaran dilakukan dengan membuat rekomendasi, panduan, dan management plan dengan merangkum hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan hal-hal apa saja yang justru dapat merusak, beserta tahapan-tahapan pengerjaannya. Dalam proses ini, PDA biasanya akan bekerja sama dengan praktisi arsitek yang ditunjuk oleh pemberi tugas untuk mengerjakan proyek pemugaran. Ibaratnya, praktisi arsitek mendesain pemugaran dan PDA mendampingi dengan memberikan masukan berdasarkan hasil riset dan dokumentasi yang telah dilakukan. Nadia mengaku justru banyak belajar dari praktisi terkait pembuatan dokumen gambar yang mudah dimengerti dalam pengerjaan.

Setelah dokumentasi dan perencanaan, yang selanjutnya dilakukan adalah implementasi. Dalam proses implementasi pemugaran, PDA biasanya lebih banyak terlibat melakukan supervisi, pengawasan, dan pembuatan laporan. PDA juga biasanya akan memberi saran jika dibutuhkan material-material khusus atau membantu mencari tahu di mana material tersebut bisa didapatkan.

Siklus terakhir dari rangkaian kegiatan konservasi adalah diseminasi. Diseminasi sebenarnya sudah merupakan kegiatan yang berada di luar rangkaian pekerjaan konservasi. Akan tetapi, menurut Nadia, diseminasi menjadi penting sebagai cara untuk menyebarkan pengetahuan ke masyarakat dengan harapan dapat memperluas setidaknya kesadaran terhadap konservasi. Diseminasi dilakukan melalui kegiatan publikasi dan penerbitan buku, pameran, seminar, workshop, pelatihan, dan pembuatan film dokumenter. Dalam melakukan kegiatan workshop dan pelatihan, PDA biasanya bekerja sama dengan lembaga-lembaga bidang terkait, seperti IAI dan UNESCO.

Beberapa di antara publikasi yang pernah ditulis oleh PDA adalah Warisa De Javasche Bank, Konservasi Gedung Bank Indonesia Kota, dan Dua Dasawarsa Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia yang menceritakan perjalanan PDA sejak berdirinya di tahun 2002 hingga 2022.

Salah satu contoh pekerjaan besar yang cukup menarik yang disampaikan Nadia di dalam kelas kali ini adalah riset dan inventarisasi benteng-benteng di Indonesia yang merupakan hasil kerja sama PDA dengan Direktorat Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Di dalam publikasi yang telah diterbitkan, Forts in Indonesia, terdapat 422 benteng di Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Benteng-benteng ini setidaknya diklasifikasikan dalam 3 kategori:

  1. Benteng nusantara: benteng yang dibangun oleh orang Indonesia, termasuk di dalamnya benteng tradisional, benteng kerajaan-kerajaan masa lampau di nusantara, dan benteng-benteng yang dibangun sendiri oleh masyarakat Indonesia dalam perjuangannya melawan Belanda di era kolonial.
  2. Benteng kolonial: benteng yang dibangun oleh para penjajah di masa kolonial, termasuk di dalamnya benteng yang dibangun oleh orang-orang Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda.
  3. Benteng pertahanan Perang Dunia. Sekalipun dampak Perang Dunia pada akhirnya tidak sampai ke Indonesia, terdapat beberapa benteng yang telah dipersiapkan dalam rangka antisipasi.

Demikianlah sedikit cuplikan perjalanan konservasi arsitektur cagar budaya Indonesia dari kacamata PDA. Tentu saja masih banyak kisah pengalaman lain yang tidak sempat diceritakan Nadia dalam sesi kelas yang pendek ini. Setidaknya, dari mendengar cerita Nadia, kita dapat melihat satu lagi bidang yang dapat ditekuni di dalam profesi arsitektur. Urgensi arsitektur pada akhirnya tidak hanya pada menciptakan binaan baru untuk masa depan, tetapi juga melestarikan binaan dari masa lampau.

Realrich Sjarief:
Saya penasaran mengenai cerita awal relasi PDA dengan Pak Han Awal. Saya melihat bahwa di sini ada simbiosis antara praktik arsitektur dan beyond arsitektur yang terjadi. Saya penasaran, ekosistem seperti apa yang bisa membuat praktisi arsitektur mengerjakan sesuatu yang beyond arsitektur? Pertimbangan apa yang dibicarakan dalam pembentukan PDA? Dan, bagaimana relasi PDA dengan Han Awal & Partners yang di dalamnya juga terdapat praktisi-oraktisi lain? Bagaimana cara Pak Han Awal mengatur agar tidak terjadi konflik kepentingan?

Nadia Purwestri:
Kami pertama bertemu dengan Pak Han Awal pada tahun 1994 sebelum PDA terbentuk. Setelah lulus kuliah, kami terlibat dalam kegiatan pameran dan seminar tentang Gedung Candra Naya di Museum Sejarah Jakarta. Di situ, beliau hadir. Kemudian, dalam rentang 1994-2002, meskipun belum memiliki bentuk, kami mulai bekerja sama dengan Pak Han Awal dalam proyek Museum Bank Indonesia. Pak Han memang ditunjuk oleh BI untuk melakukan pemugaran. Pada tahun itu, Pak Han memang diketahui sudah selesai mengerjakan pemugaran terhadap Gedung Arsip dan Gereja Katedral. Sementara itu, kami ditunjuk untuk melakukan dokumentasi. Dalam proyek inilah, kami pertama kali menemukan metode berupa sistem kode yang urut dan konsisten dalam pendokumentasian. Barulah pada tahun 2002, PDA secara formal terbentuk dengan Pak Han sebagai salah satu founder. Setelahnya, hubungan kerja kami menjadi semakin sering. Dari Pak Han, kami banyak belajar mengenai pembuatan dokumen gambar yang dapat dibaca dengan jelas oleh kontraktor, tidak hanya pada level pimpinan proyek, tetapi hinggal ke level mandor dan tukang.

Pertimbangan pembentukan PDA dimulai pada saat dahulu melakukan riset tentang Candra Naya itu. Kami dilempar-lempar, setengah mati mencari data. Akhirnya, kami berpikir bahwa akan lebih baik jika ada satu institusi yang bisa menyediakan data-data, meskipun hanya berupa koleksi. Dulu, salah satu founder kami yang lain, Mas Endy Subijono, juga kebetulan baru pulang dari Amerika dan pernah magang di HABS-HAER (Historic American Building Survey and Historic American Engineering Report). Beliau memiliki pemikiran yang sejalan dengan Pak Han. Kemudian, karena mungkin kami saat itu terlibat dengan Pak Han dalam proyek pemugaran BI, beliau ingat dengan kami.

Kalau dengan Han Awal & Partners, seingat saya, dulu seakan-akan sudah ada pembagian. Ada memang beberapa dari tim mereka yang ditarik oleh Pak Han untuk membantu di konservasi. Untuk internalnya, saya kurang tahu. Jadi, dulu bahkan ada tim kami yang belajar membuat RAB untuk pekerjaan konservasi dari estimatornya Pak Han Awal.

Yuswadi Saliya:
Dari pengamatan saya, kita sudah banyak kecolongan dengan adanya bangunan-bangunan cagar budaya yang dirombak. Saya mengerti bahwa ini barangkali berada di luar jangkauan PDA. Namun, dari pengalaman Bu Nadia sendiri, apa yang bisa diperbuat oleh institusi seperti PDA dalam hal ini? Bagaimana cara PDA menyampaikan gagasan-gagasan pelestarian mengenai hal semacam ini? Ini mungkin sekadar isu-isu tambahan agar kami bisa lebih mengerti tanggung jawab PDA yang barangkali bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Pemaparan Bu Nadia sudah memberikan gambaran mengenai betapa rumitnya pembuatan dokumentasi, diperlukan keahlian-keahlian khusus sampai ke pengenalan material. Jadi, mungkin ada cerita-cerita yang bisa merangsang para arsitek muda untuk mau terjun juga. Terima kasih.

Nadia Purwestri:
Berdasarkan pengalaman kami, ada yang namanya preserved by report. Jadi, kalau tidak bisa melestarikan wujud, paling tidak kita bisa lestarikan dalam bentuk data. Hal tersebut pernah kami lakukan untuk sebuah bangunan yang pernah berdiri di kompleks Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Bangunan tersebut pernah digunakan untuk rapat persiapan delegasi Indonesia sebelum mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Karena akan diadakannya perluasan kantor kedutaan, dan sudah mendapatkan izin, bangunan tersebut terpaksa dibongkar. Akan tetapi, kami sempat melakukan dokumentasi, pengukuran, dan penggambaran ulang sebelumnya. Bahkan, oleh Kedutaan Besar Amerika, akhirnya bangunan tersebut dibuatkan maketnya.

Akan tetapi, kalau untuk menyuarakan, rasanya selama ini PDA belum pernah. PDA mungkin bisa melakukan sebatas membuat forum diskusi. Topik pelestarian kan bisa dibicarakan dari berbagai macam sisi, tangible dan intangible. Atau, kami mungkin bisa menulis dan membuat publikasi. Salah satu gagasan yang menurut kami penting justru bukan apakah suatu bangunan perlu dipugar atau tidak, tetapi bagaimana bangunan yang sudah dipugar dapat dimanfaatkan sehingga tidak kembali rusak karena tidak dipakai, mengupayakan pelestarian yang berkelanjutan.

Bambang Eryudhawan:
Yang menurut saya lucu, Rem Koolhas pernah mengatakan bahwa konservasi yang berkembang di Eropa itu mematikan arsitektur. Namun, kita paham bahwa pernyataan itu datang dari sebuah kawasan yang memang memiliki peraturan pelestarian yang cukup solid. Yang menjadi dilematis adalah ketika seorang arsitek mendapatkan proyek baru yang harus menghancurkan bangunan lama yang sebenarnya juga bagus.

Sebelum ditutup, saya mau menyampaikan bahwa PDA juga sangat berterima kasih kepada Mas Aji Dame yang telah memberikan dukungan, meskipun tidak sebagai pendiri. Kemudian, keterlibatan IAI dengan PDA juga terjadi akibat keterlibatan Pak Sandi Siregar ketika beliau menjadi ketua IAI Nasional. Pak Han merasa bahwa kita memerlukan keterlibatan organisasi profesi yang sudah mapan karena biar bagaimanapun pelestarian menjadi bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab profesi arsitek.

Masalahnya, UU Cagar Budaya itu sendiri juga mematikan profesi. Tiba-tiba profesi arsitek dan arkeolog dinafikkan oleh sebuah institusi baru, yang bernama ahli cagar budaya. Kalau berkaca ke Amerika, sebenarnya tidak ada itu sertifikat ahli cagar budaya. Yang ada adalah profesi arkeolog, sejarawan, dan arsitek berkumpul untuk bersepakat menentukan bangunan yang pantas untuk dilestarikan. Itu juga menjadi persoalan yang harus dihadapi PDA dalam pertarungannya. Didokumentasikannya bangunan cagar budaya saat ini menjadi hal yang “wah”. Tidak banyak institusi yang mau melakukan dokumentasi sebelum mengadakan konservasi atau adaptasi untuk program-program baru. PDA mungkin menjadi elemen kecil yang mencoba memberikan sumbangannya dalam hal ini.

Dari paparan kelas kali ini, kita dapat melihat peran penting PDA di dalam penjagaan terhadap keberadaan materi pengetahuan arsitektur, khususnya dari masa lampau, baik secara fisik melalui konservasi atau setidak-tidaknya dalam bentuk dokumentasi. Nadia juga sempat menyebutkan bahwa perlakuan ini bisa jadi tidak hanya penting untuk arsitektur masa lampau, tetapi juga masa kini yang akan menjadi cagar budaya di masa depan. Sayangnya, masih banyak orang yang belum menyadari atau mengetahui, apalagi memahami hal ini, sehingga dilema-dilema atas persoalan pilihan untuk mempertahankan, mengubah, atau membongkar bangunan eksisting untuk membangun bangunan baru pun terjadi.

Pada akhirnya, penyebaran pengetahuan atau kesadaran secara lebih luas menjadi lebih penting daripada sekadar memperdalam pemikiran tentang cagar budaya itu sendiri. Apalagi, dalam paparan kelas kali ini juga terjelaskan bagaimana pelestarian menjadi persoalan yang bisa dilihat dari begitu banyak sudut pandang dari berbagai bidang, baik dalam nilai yang tangible maupun intangible. Di sinilah kemajemukan arsitektur, tidak hanya dalam begitu banyaknya cabang yang dapat dikerjakan oleh seorang lulusan arsitektur, tetapi juga begitu banyaknya arsitektur dapat terlibat dalam sebuah irisan. Dari pengalaman PDA sendiri, kita bisa melihat banyaknya orang dengan kecintaan terhadap irisan yang sama bisa terlibat bekerja sama hingga sekarang.

Inilah esensi yang diharapkan dari diadakannya kelas Tua-Tua Kakatua. Kita tidak pernah sendiri dan kita perlu bekerja sama untuk mendukung sebaran-sebaran yang ada. Kita perlu bertoleransi dengan memahami adanya koeksistensi. Dengan demikian, komunitas dapat terbentuk, komunitas yang tidak terbatas pada badan organisasi yang dibentuk secara formal. Dan, dengan demikian, kedekatan secara personal layaknya keluarga menjadi penting di dalam ranah arsitektur Indonesia.



Tentang OMAH Events lainnya di bawah ini:

Something went wrong. Please refresh the page and/or try again.

Leave a comment