Dalam sesi kelas Dara(h) Muda yang diadakan pada Sabtu, 18 Mei 2024, Rofianisa Nurdin berbagi kisah perjalanannya dari menjadi seorang lulusan arsitektur yang berpraktik hingga kini tidak lagi berpraktik, tetapi masih “mengintip” ke dunia arsitektur. Baginya, dunia arsitektur bagaikan dunia sihir dalam kisah Harry Potter. Komunitas arsitek merupakan komunitas kecil yang memiliki perputarannya sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, komunitas kecil ini tetap menjadi bagian dari dunia yang lebih besar.
Sejak kecil, Rofianisa memiliki banyak kesenangan. Kesempatannya diizinkan berkuliah keluar dari kota kelahirannya ia manfaatkan untuk mengeksplorasi berbagai hal. Sejak masih duduk di bangku kuliah, ia sudah banyak memberanikan diri mengambil pengalaman dengan menjadi volunteer, dalam bidang penulisan, dokumentasi, dan diskursus, di berbagai event, baik di dalam maupun luar negeri. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, ia banyak mengambil pelajaran tentang tanggung jawab dan bagaimana menjadi warga dunia global, tidak hanya dari segi penguasaan bahasa tetapi juga kepemilikan empati.
Dalam kesempatan Rofianisa bekerja dalam praktik arsitektur dan mengeksplorasi kemampuannya, ia belajar untuk mulai memisahkan “background noise” dari peran yang benar-benar menjadi ranah minat dan bakatnya. Ia berefleksi terhadap kutipan The Serenity Prayer:
“God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.”
Setelah berhenti berpraktik dan mengambil jeda sabatikal dengan menjadi asisten riset untuk memikirkan kembali apa yang benar-benar ingin ia lakukan, Rofianisa mendapatkan ajakan untuk terlibat di dalam perumusan rabu(n)senja yang sekaligus menjadi awal dari pergeseran dirinya ke dunia platform. Melalui platform-platform yang masih terkait dengan dunia arsitektur dan terkoneksi melalui orang-orang yang dikenalnya, Rofianisa mendapatkan batu loncatan ke platform-platform di ranah lain.
Meski demikian, Rofianisa masih menerima tawaran yang sesekali datang untuk kembali “mengintip” dunia arsitektur. Alasannya masih mau mengerjakan hal-hal terkait arsitektur sekalipun dirinya sudah tidak lagi berpraktik di sana dikarenakan dirinya sudah mengenal orang-orang di dalam bidang tersebut sejak dirinya belum menjadi siapa-siapa. Pada akhirnya, Rofianisa justru mensyukuri keputusannya untuk tidak lanjut berpraktik arsitektur dan mengambil peran lain yang ternyata dibutuhkan oleh profesi yang ditinggalkannya tersebut.
Dari pengalaman Rofianisa, kita bisa melihat bagaimana lulusan arsitektur tidak selalu harus menjadi arsitek untuk dapat dikatakan sukses. Kita juga dapat berefleksi tentang banyaknya peran-peran lain yang ternyata juga dibutuhkan di dalam bidang arsitektur, memperluas khazanah profesi yang dapat dijalani oleh seorang lulusan arsitektur.
—
Hanifah Sausan Nurfinaputri:
Dari pengalaman-pengalaman Kak Rofi berkomunitas di luar negeri, hal positif apa saja yang kakak lihat dari masyarakat luar yang mungkin dapat diterapkan oleh masyarakat kita, dan bagaimana cara kita bisa menerapkannya?
Rofianisa Nurdin:
Saya rasa keberanian berbicara. Saya tidak menggeneralisasi, tetapi saya memang menemukan di beberapa kesempatan bahwa orang Indonesia seringkali bersikap malu-malu, termasuk juga saya. Padahal, teman-teman kita di negara tetangga saja bisa lebih vokal. Diskursus bukanlah tentang benar dan salah, melainkan bagaimana kita turut berkontribusi terhadap suatu pemikiran. Di samping itu, umumnya, kita juga merasa takut untuk berkomunikasi dengan bahasa asing. Padahal, masyarakat luar seringkali tidak mempermasalahkan gramatika dalam berbicara. Justru sesama kita yang masih sering saling mengomentari hal tersebut.
Cinthya Margareth:
Dari pengamatan saya, kebanyakan mereka yang berani membuat hegemoni atau pergerakan-pergerakan yang berdampak bagi banyak orang adalah mereka-mereka yang sudah lebih senior. Saya jarang melihat hal semacam ini dikerjakan oleh kaum muda. Menurut Rofi, apa tips untuk para kaum muda untuk bisa saling berkumpul dan berbagi opini, tetapi tidak “salty”?
Rofianisa Nurdin:
Kalau kita tarik jauh secara kolektif, arsitektur Indonesia sebenarnya, secara desain, proyek, dan kedewasaan berpraktik, terus berkembang. Akan tetapi, tidak semua orang bisa melihat hal tersebut. Orang cenderung melihat orientasi pembicaraan arsitektur yang condong ke lingkaran-lingkaran tertentu. Perlu didewasakan bahwa setiap orang memiliki kemampuan observasinya masing-masing dalam membangun personal dan metode berpraktik. Jadi, tidak perlu “salty” ketika melihat perbedaan. Rekan-rekan di luar ranah arsitektur melihat komunitas kita hidup itu sudah merupakan sesuatu yang baik, jika memang niatnya adalah untuk membangun diskursus.
Tentang OMAH Events lainnya di bawah ini:










