Dalam kelas Dara(h) Muda yang lalu, Antonius Richard membuka sesi dengan terlebih dahulu bercerita nostalgia tentang bagaimana ia melihat OMAH Library di masa awal yang belum memiliki “tempat tinggal” yang sempurna tetapi sudah berani mengadakan kegiatan. Semangat tersebut dianggapnya menarik dan ia bawa kemudian ke dalam praktiknya di RAD+ar.
Ia kemudian melanjutkan presentasinya dengan terlebih dahulu menunjukkan fenomena bahwa Jakarta diprediksikan akan menjadi kota ke-20 dengan populasi penduduk terbesar di dunia pada tahun 2030. Di Asia, kemungkinan Jakarta akan berada di dalam peringkat 5 besar. Begitupun Indonesia secara keseluruhan berkembang. Hal tersebut tentu akan berdampak terhadap lingkungan, mulai dari merebaknya polusi, permasalahan sosial-ekonomi, hingga isu area hijau. Saat ini saja, luasan area hijau per kapita kita sudah cukup jauh lebih kecil dibandingkan Singapura yang terkenal sebagai kota bisnis dengan banyaknya gedung-gedung tinggi. Hal tersebut tentu ironi jika dibandingkan dengan masih banyaknya pandangan orang luar yang berpikir bahwa Indonesia adalah negara hijau.
Richard kemudian mengajak untuk menggali terlebih dahulu alasan di balik terjadinya fenomena ini sebelum merumuskan solusi. Jika kita menengok ke belakang, sebenarnya arsitektur vernakular di Indonesia sudah terbentuk sejak sekitar 450 tahun sebelum Indonesia terbentuk. Pada akhirnya, istilah “arsitektur” hanyalah brand yang dipakai untuk menjelaskan budaya membangun sebagai cara hidup. Saat Indonesia dijajah selama 350 tahun, kolonisasi masuk sebagai agen arsitektur modern. Dari yang semula tidak ada kebenaran mutlak, tiba-tiba ada gerakan untuk merumuskan identitas arsitektur. Setelah Indonesia merdeka, kita dibuat kaget kembali dengan munculnya sistem demokrasi. Pada akhirnya, mau tidak mau, arsitektur Indonesia pun mulai digerakkan oleh kapital. Oleh karenanya, untuk dapat membuat perubahan, suka tidak suka, kita pun harus menyesuaikan diri dengan framework tersebut.
Dalam praktiknya, Richard menyebutkan bahwa dirinya bergerak dengan sebuah visi, yaitu “Empowering Exuberant Inclusivity”. Baginya, kehidupan ini terlalu singkat untuk kita dapat mengubah dunia. Yang bisa kita lakukan adalah menginspirasi dan mengusahakan agar inspirasi tersebut bisa terdesentralisasi. Dalam praktik Richard, usahanya tersebut ia coba lakukan di dalam tiga misi.
1. Proactively claiming back green catchment area – public space area
Memang tidak mudah membawa kampanye hijau ke dalam pembangunan, apalagi ketika kita berhadapan dengan developer. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman Richard, anggapan bahwa developer tidak menginginkan arsitektur yang bagus adalah salah. Mereka mau, selama tujuan mereka tercapai, yaitu tercapainya keuntungan. Oleh karenanya, dalam praktiknya, Richard berusaha membuktikan bahwa arsitektur yang mengedepankan pembentukan area hijau dapat dibuat dengan mengecilkan cost melalui reduksi material, serta usaha konservasi air dan energi, sehingga ROI dapat lebih cepat sekalipun pendapatan kotor terlihat tidak sebesar bisnis konvensional. Respon yang ditunjukkan di media sosial pun membuktikan bahwa publik sebenarnya sudah haus akan solusi semacam ini.
2. Experimenting with geography & resources
Misi ini dijalankan Richard terutama dalam proyek-proyek yang berlokasi di daerah dengan karakteristik yang khas dan aksesibilitas material yang sulit. Idenya adalah menggunakan material lokal untuk mengurangi cost dan carbon footprint, serta berusaha semaksimal mungkin mengadaptasikan karakteristik lingkungan setempat.
3. Prototyping Sustainability
Usaha pembuatan prototipe terlihat kontroversi dengan prinsip arsitektur yang merupakan ranah pekerjaan kreatif. Namun, Richard mengajak kita untuk menyadari bahwa arsitektur masih menjadi barang mewah di Indonesia. Oleh karenanya, menurut Richard, kita sebenarnya bisa membuat prototipe-prototipe kecil dari setiap proyek yang cukup terjangkau untuk ditiru dan dibuat sendiri oleh orang awam. Demikianlah cara kita menyebarkan arsitektur yang baik.
Terakhir, Richard berpesan untuk kita jangan pernah menyerah berjuang di ekosistem yang tidak sempurna ini. Ia meyakinkan bahwa kita dapat menjadikan Indonesia lebih baik dengan setiap hal kecil yang dilakukan, selangkah demi selangkah.
Chalvin Tri Ananta: Pak Richard kan terkenal sering mengikui sayembara saat masih menjadi mahasiswa. Apa yang menjadi motivasi bapak dan bagaimana motivasi tersebut dibawa ke visi misi bapak saat ini?
Antonius Richard: Saya sebenarnya mengikuti sayembara bukan karena senang, tetapi karena saya membutuhkan hadiahnya dengan kondisi saya saat itu. Menurut saya, sayembara justru bukan environment yang bagus karena ia membentuk saya menjadi arsitek instan. Dari sering mengikuti sayembara, saya menjadi hafal desain seperti apa yang kemungkinan besar akan menang. Pada akhirnya, saya perlu detoksifikasi diri dengan berhenti mengikuti sayembara untuk mengembalikan kecintaan saya terhadap arsitektur. Dalam profesi pun demikian. Terkadang, kita perlu menolak proyek yang tidak sesuai dengan visi kita untuk memberi kesempatan proyek yang lebih baik masuk.
Laksamana Sigit Pangestu: Pernahkah Pak Richard mengalami pemutusan proyek di tengah jalan sekalipun proposal sudah disetujui? Jika pernah, bagaimana bapak mengatasi hal tersebut?
Antonius Richard: Setiap studio pasti memiliki caranya masing-masing dalam menjalani proyek. Dari pengalaman awal saya berpraktik, dengan belum adanya portofolio, orang seakan gambling jika ingin memakai jasa studio saya. Oleh karenanya, cara yang dipakai di RAD+ar adalah kami tidak menerima DP. Kami fokus mematangkan konsep terlebih dahulu. Jika klien setuju, baru DP masuk. Itu juga jadi pendorong kami untuk meng-goal-kan proyek. Akan selalu ada yang tidak cocok. Saya anggap itu sebagai biaya pembelajaran. Sisi positif lainnya adalah proyek menjadi lebih cepat berjalan setelah DP masuk karena konsep sudah disetujui sebelumnya.
Ira: Bagaimana cara Pak Richard mengelevasi potensi yang dimiliki suatu proyek sehingga bisa melahirkan ide yang extraordinary?
Antonius Richard: Ini sebenarnya pertanyaan retoris yang tidak memiliki jawaban benar. Saya sendiri tidak pernah menganggap diri saya sebagai arsitek yang baik. Beberapa tahun dari sekarang, saya bisa saja tidak menyukai karya saya yang sekarang. Solusi berbeda terhadap satu brief yang sama sebenarnya hanya merupakan buah dari perbedaan framework. Akan tetapi, saat di-justify, semuanya bisa benar. Tidak perlu berusaha berbeda karena berbeda tidak selalu bisa menjadi berguna. Tujuan seseorang menjadi arsitek cuma ada dua: aktualisasi diri dan pelayanan. Jadi, kiblatnya cukup kamu bisa melayani dengan baik dan kamu bahagia
Muhammad Raffy Prawira Putra: Saya memiliki satu pemikiran dan ingin mendengar pendapat Pak Richard. Mengapa arsitek di dalam berpraktik harus berada di bawah label konsultan? Padahal, dengan label developer, kita mungkin bisa lebih cepat mewujudkan idealisme kita dengan membangun tanpa harus terlebih dahulu menunggu persetujuan klien.
Antonius Richard: That’s a very good question. Saya juga sering memikirkan hal tersebut. Jawaban yang muncul adalah regulasi itu dibuat untuk mayoritas, bukan minoritas. Bayangkan jika semua arsitek diberi kebebasan untuk membangun dan menjual sendiri karyanya. Permasalahannya adalah tidak semua orang memiliki idealisme yang baik. Selain itu, di dalam prosesnya, ketika kamu memiliki dua sisi di dalam berpraktik, kamu akan selalu menghadapi conflict of interest. Hal tersebut tidak akan terjadi jika kamu menjadi konsultan murni karena kamu memiliki profesionalisme untuk hanya menyarankan yang terbaik. Pada akhirnya, keputusan akan apa yang mau kamu jalani kembali lagi ke kamu.
Rofianisa Nurdin (tanggapan): Saya merasa bangga karena ada orang seperti Richard di antara arsitek angkatan saya yang berani membagikan pemikiran bahwa tidak perlu menunggu Indonesia sempurna untuk kita bisa berkarya. Saya optimis melihat mulai banyaknya pendekatan arsitektur saat ini. Sepuluh tahun yang lalu, kiblat arsitektur kita mungkin itu-itu saja. Mahasiswa generasi sekarang sudah punya lebih banyak preferensi bukan hanya berdasarkan persona, tetapi juga pemikiran
Realrich Sjarief (tanggapan): Di era ketika semua terasa flat, mencari pembeda antara satu orang dan orang lain sangatlah sulit, sangatlah tipis. Akan tetapi, Richard menegaskan bahwa kamu bisa melakukan apa yang saya tidak bisa, sebagaimana sebaliknya. Ini menjadi menarik karena di situlah point of struggle. Richard bercerita tentang bagaimana menembus batas kesuksesan dan pentingnya memiliki body of work yang diperjuangkan. Saya rasa Richard telah berhasil secara lugas mengolah pride dengan baik. Ia seperti sedang berbicara kepada anak-anak muda untuk tidak pesimis ketika nanti ditinggal oleh generasi di atasnya. The new era is coming, generasi akan segera berganti. Keep provoking things, Richard! We’ll always support your provocation.
@antoniusrichard @omahlibrary @rumaharsitekturindonesia @guhatheguild
#rumaharsitekturindonesia #omahlibrary #guhatheguild #ArchitecturalDiscussions #librarydialoguehub #architecturestudentlife #darahmuda #jakarta #indonesia
Tentang OMAH Events lainnya di bawah ini:









