Summary Lecture Bittersweet Memories in Design Experience #31: Adi Purnomo
Menyusuri Kenangan dan Totalitas dalam Arsitektur
Bittersweet Memories in Design Experience adalah salah satu seri kelas OMAH Library yang tidak hanya membahas karya, tetapi juga menggali kisah di baliknya: masa kecil, pendidikan, hingga perjalanan penuh liku menuju profesi arsitek. Bitter and Sweet, perjalanan arsitektur tidak selalu glamor seperti yang ditampilkan media. Justru naik-turunnya yang membuatnya bermakna.
Pada sesi Kamis, 8 Mei 2025, bintang tamu untuk acara bittersweet kali ini Pak Adi Purnomo “Mamo” dengan moderator Lu’luil Ma’nun. Acara ini dibuka dengan pengantar dari Realrich Sjarief yang menceritakan bagaimana konstelasi antara jakarta dan jogja, serta peran Pak Mamo di konstelasi tersebut.
Pak Mamo mulai dengan cerita personalnya, bagaimana dirinya anak bungsu dari pasangan Jawa dengan 7 saudara lainnya. Ia kehilangan ibunya saat SMP dan ayahnya saat kuliah. Dalam perjalanan hidupnya salah satu sosok yang membekas adalah Ardi Pardiman, dosen Universitas Gadjah Mada di Jogja yang kerap dihindari mahasiswa.
Melalui latihan sederhana, Pak Ardi mengajarkan esensi desain yang ternyata mudah diikuti, namun memberi ruang eksplorasi. Kampus Bata Merah, gedung pertama prodi arsitektur UGM yang dirancang oleh Pak Ardi juga menjadi sebuah pustaka arsitektur tektonika yang membekas. Seperti Kiyonori Kikutake, profesor Pak Ardi ketika kuliah di Jepang yang juga berkontribusi pada gerakan arsitektur Metabolisme, keduanya sama-sama “orang-orang di bawah radar”—jarang berpraktik, tetapi menghasilkan teori yang menyibak kembali akar dan identitas arsitektur setempat, di tengah hegemoni arsitektur Barat kala itu.
Interaksi Pak Mamo dengan seniornya, Eko Prawoto juga membekas. Dari beliau, Pak Mamo belajar tentang kedalaman, seperti bawang yang berlapis-lapis, setelah dikupas pun masih ada isinya. Eko Prawoto menjadi sosok yang menenangkan Pak Mamo, yang mengajaknya untuk melihat dari berbagai perspektif. Puncaknya, ketika tiba di Jakarta, ia begitu peka dalam melihat permasalahan mendasar yang menyebabkan ketidakadilan di mana-mana.
.
Semangat dari konstelasi Jogja-Jakarta ini muncul dalam 5 karya rancangan ruang publik yang dibagikan Pak Mamo. Pada Gereja Santa Perawan Maria Ratu Jakarta (2000-2004), Pak Mamo menceritakan bagaimana ruang baru dibuat dengan kontras secara visual, tetapi terhubung dan mendukung performa dari bangunan lama. Pada sayembara Museum Tsunami Banda Aceh (2007), ia juga mengkritik niatan untuk membangun museum yang seakan meromantisasi tragedi ketika rumah bantuan untuk korban tsunami pun belum terpenuhi. Alih-alih museum, Pak Mamo merancang sebuah monumen sekaligus ruang publik yang menyerupai bentuk alam dengan pemaknaan sebagai anugerah sekaligus musibah.
.
Pada proyek Kawasan Pusat Kota Banyuwangi (2010-2018), Pak Mamo ber-kompromi selektif pada kondisi eksisting kota dan bangunan, mencoba mengembalikan tiap ruang pada “fitrah” tanpa menghapuskan intervensi yang bernilai positif atau menggelitik. Pada Taman Arkeologi Borobudur (2018-2019), intensitas kegiatan wisata yang terlalu tinggi menurut Pak Mamo sudah “menenggelamkan” seluruh fungsi pendukung di bawah tanah, bahkan menyarankan kegiatan observasi pengunjung dilakukan dari balon udara. Pada sayembara Taman Margasatwa Ragunan (2019), melalui kepekaan menangkap celah efisiensi pada pengelolaan satwa dan sumber air, membagi kebun binatang menjadi zona publik dan zona eksklusif dengan tata lanskap alami untuk kehidupan satwa yang lebih baik dan pengalaman berkunjung yang lebih edukatif.
.
Semua dilakukan Pak Mamo dengan penuh totalitas, sekalipun ia tahu usulannya tidak akan diterima atau menyalahi brief yang diberikan. Ada respons alami yang terbentuk dari pengalaman masa kecil dan pelatihan sebagai arsitek, kemudian coba disampaikan dengan jujur dan apa adanya oleh Pak Mamo. Tak jarang audiens malam hari itu tertawa karena pembawaan beliau yang jenaka, tetapi mungkin juga karena tidak habis pikir dengan ide-idenya.
Banyak peserta malam itu yang bertanya kepada Pak Mamo tentang profesi arsitektur di Indonesia. Menurut beliau, untuk berkarya di suatu tempat, seseorang memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Sebagaimana halnya dengan berguru, proses tersebut tidaklah mudah dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Diperlukan pengetahuan teknis, pemahaman tentang konteks, serta pemahaman mengenai arsitektur yang tidak hanya berfokus pada kreasi, tetapi juga pada pertanggungjawaban dan masalah etika. Dalam berpraktik pun seperti ada yang harus dikembalikan.
.
Pak Mamo dididik untuk tidak selalu kompetitif, tetapi mengayomi. Bersama konstelasi arsitek Yogyakarta seperti Ardi Pardiman, Eko Prawoto, dan pengaruh Romo Mangun, beliau menyerap semangat arsitektur yang jauh dari oportunisme bisnis. Ardi Pardiman menggelar landasan keilmuan dan kepekaan terhadap identitas lokal. Eko Prawoto meneladankan pendekatan arsitektur yang halus dan kadang perlu memutar, mengambil jalur alternatif. Pada diri Adi Purnomo semuanya berpadu dengan konstelasi Jakarta, menghasilkan pendekatan yang frontal tanpa kompromi pada prinsip, bahkan di tengah tekanan kapitalisme. Baginya, arsitektur seperti perjuangan hingga “titik darah penghabisan,” tetapi tetap jujur dan rendah hati mengakui kerapuhan.
.
Diakhir acara Realrich memberikan kesimpulan tentang perjalanan Pak Mamo yang merupakan cerminan penyatuan tiga kutub: realisme, ekspresionisme, dan diskursus sosial, membentuk hipotesis baru tentang arsitektur Nusantara yang relatif namun solid. Pak Mamo seperti memberi harapan bahwa ekosistem arsitektur Indonesia masih positif, menjadi “tongkat estafet” untuk generasi mendatang. “Mas Mamo membuat kita punya harapan kembali,” tutup Realrich, merayakan totalitas dalam berkarya.
Tentang OMAH Events lainnya di bawah ini:














































