Welcome to OMAH Classroom
Memahami Arsitektur
Seven Discourses: Do and Don’t
Pada masa pandemi Covid-19 di Indonesia, tepatnya pada saat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, OMAH Library mengadakan acara kelas Wacana Arsitektur “Do and Don’t” bersama tujuh narasumber terkait dengan filosofi, sejarah, teori, kritik, kurasi, cara bercerita, dan menulis. Rangkaian kuliah membahas mengenai salah satu cara untuk membicarakan arsitektur, yaitu dengan berwacana. Hal ini merupakan sebuah cara kontemplatif, melihat ke-dalam diri sendiri yang melibatkan pengalaman nyata ke dalam proses redefinisi sebuah istilah dan sifat dasar sebuah sudut pandang ilmu. Kuliah ini adalah cerita berbagi pengalaman pribadi setiap narasumber di dalam proses memahami tiap-tiap bagian wacana.
Wacana di dalam arsitektur bisa diibaratkan sebagai sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran yang membentuk sebuah kemampuan untuk menalar. Wacana melibatkan percakapan subjek-subjek yang melibatkan referensi, esai, bahasa, praktik yang terkait dengan sebuah perspektif. Dan akhirnya wacana akan membuka kreativitas di dalam dunia arsitektur. “Do and Don’t” bukan berarti peraturan, namun kemampuan menelisik hal-hal yang memiliki potensi untuk terciptanya sebuah perubahan, atau inovasi di dalam dunia arsitektur. OMAH Library mengadakan rangkaian kuliah yang dapat dipahami ke dalam tujuh bagian.
- Kritik oleh M Nanda Widyarta
- Sejarah oleh Setiadi Sopandi
- Teori oleh Undi Gunawan
- Kurasi oleh Eka Swadiansa
- Cerita oleh Revianto Budi Santosa
- Tulisan oleh Apurva Bose Dutta
- Filosofi oleh Johannes Adiyanto

Criticism: Do and Don’t
Narasumber

M Nanda Widyarta saat ini adalah seorang mahasiswa program S3 di College of Built Environment, the University of New South Wales. Minatnya dalam hal riset terletak pada arsitektur modern di masa pasca-kemerdekaan. Walaupun saat ini masih berfokus pada kasus-kasus di Indonesia, tetapi ada juga ketertarikan—bahkan kebutuhan—untuk melakukan perbandingan dengan kasus-kasus di negara-negara lain.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 05.06.2020, diisi oleh M Nanda Widyarta, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Apakah kritisisme itu? Apakah kegunaannya dalam arsitektur? Bagaimana kita melakukan kritik yang baik? Adakah parameter yang jelas untuk menilai sesuatu?
Kita kerap salah dalam memahami kritisisme. “Mengkritik” kerap kita anggap sebagai “menyerang,” “mencela,” atau “menghantam” lawan debat kita. Kesalah pahaman ini perlu diluruskan. Kritisisme adalah salah satu unsur dari tritunggal sejarah—teori—kritisisme. Kritisisme, menurut salah satu pengertian yang ditawarkan oleh Kamus Cambridge, adalah “a careful discussion of something in order to judge its quality or explain its meaning.” Melalui kritisisme kita dapat membahas karya-karya arsitektur secara diskursif. Pembahasan diskursif semacam itu akan sangat bermanfaat dalam pengembangan arsitektur sebagai sebuah disiplin.
Pada sesi ini, kita akan memulai dengan kritisisme yang tradisional, yakni kritisisme model Kant yang mengasumsikan adanya obyektifitas, terkait dengan sensus communis, di antara para pengamat. Jika kita mengambil model Kantian, maka pertanyaannya: apakah yang dapat kita anggap sebagai patokan/parameter untuk menentukan keobyektifan pengamatan—dan kritisisme—kita? Hegel, misalnya, mengusulkan zeitgeist sebagai patokan tersebut. Marx, yang merujuk kepada Hegel, mengusulkan pertentangan antar kelas sosial sebagai patokan itu.
Testimoni Peserta
Materi yang disampaikan oleh Pak Nanda cukup jelas untuk dipahami, dan membuat kita bertanya-tanya juga terhadap kesimpulan yang masih tanda tanya di akhir presentasi dari Pak Nanda. Ini membuat saya juga penasaran untuk menelusuri kembali kritik yang berasal dari esensi sebenarnya, selain klaim-klaim yang menyatakan bahwa kritik itu jelek. Kekurangan dari presentasi Pak Nanda mungkin terdapat pemahaman yang kurang bisa dimengerti sama mahasiswa, seperti saya. Saya tidak familiar dengan buku-buku dan beberapa tokoh yang disebutkan pada saat presentasi, jadi saya sedikit kurang mengerti dari intensi penyampaian sebenarnya. Mungkin kedepannya materi bisa disesuaikan secara kalangan banyak untuk bisa dipahami bersama.
—Vincent
Materi yang mengajak untuk berpikir lebih kritis dalam hal apapun.
—Johannes Adiyanto
Substansi dan teknik penyampaian materi yg sangat menarik, dapat mengembangkan pola pikir mahasiswa menjadi lebih kritis dalam definisi kritis yang telah disampaikan dalam materi.
—Dewa Marsa
Materi yang solid yang membawa kritisme secara umum ke dalam arsitektur. Sekaligus mencerahkan bagi orang orang yang berstigma negatif bahwa kritis itu sok tau dan omong kosong.
—Alifian
Materi esensial yang perlu dipahami setiap orang. Great job.
—Anisya M
History: Do and Don’t
Narasumber

Setiadi Sopandi saat ini aktif dalam riset, penerbitan, kurasi, dan pengarsipan sejak tahun 2007, dengan ketertarikan kepada modernisme, warisan arsitektur modern, dan duskursus seni dan arsitektur kontemporer di Indonesia dan Asia Tenggara – berafiliasi dengan modern Asian Architecture Network (mAAN) dan baru-baru ini dengan Proyek mASEANa. Ia adalah kurator dari Arsip F. Silaban, Bogor, dan co-founder, anggota dewan kurator, dan pengurus arsitekturindonesia.org, repositori online pertama yang didedikasikan untuk pengarsipan arsitektur di Indonesia.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 12.06.2020, diisi oleh Setiadi Sopandi, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Profesi di bidang (yang kita gadang-gadang sebagai) “kreatif” punya konotasi selalu berorientasi ke masa depan seakan tidak relevan dengan masa lalu. Profesi kreatif selalu diberi tuntutan untuk terampil dalam memanfaatkan teknologi terkini dan tanggap terhadap budaya kiwari, dan selalu dalam kodrat untuk mengejar apapun yang ada di depan. Namun di sisi lain, profesi kreatif (khususnya di Indonesia) juga seringkali dibebankan untuk tetap bertolak dari tradisi dan kebiasaan. Tradisi dan kebiasaan ini meliputi berbagai hal yang dianggap lokal, berakar, endemik, atau sesederhana kontra terhadap apa yang global dan industrial. Beberapa dari bentukan tradisi dan kebiasaan ini akhirnya dipatri menjadi model-model yang harus ditiru, direplikasi, dan diadaptasi. Bentuk-bentuk yang dianggap sah, pantas, representatif, relevan terhadap identitas lokal maupun nasional bahkan diperkuat dengan produk-produk hukum – yang memaksa, mewajibkan.
Ini adalah salah satu runutan dari konsekuensi sempitnya pemahaman mengenai tradisi dan sejarah. Pemahaman yang sempit yang mengakibatkan pendangkalan pemanfaatan tradisi dan sejarah itu sendiri. Alih-alih memandangnya sebagai khazanah, kekayaan pengetahuan dari tradisi, peristiwa, artefak tertapis dan menjadi simbol yang ajeg, mengerdilkan kreatifitas kita dalam membaca dan menginterpretasi fenomena masa lalu dan artefak budaya.
Paparan ini akan mencoba mendiskusikan definisi dan peran “sejarah arsitektur” bagi para arsitek dan akademisi arsitektur di Indonesia, dan bagaimana sempitnya definisi itu telah menyebabkan kekeliruan epistemologis di dalam arsitektur sebagai sebuah disiplin dan profesi kreatif.
Testimoni Peserta
Gilakkk. Sangat mengenyangkan untuk materinya sendiri dan narasumbernya pula sangat kompeten untuk materi ini. Tidak hanya memandang arsitektur dari satu displin ilmu tetapi multi disiplin yang membuatnya terasa sangat berhubungan satu dengan yang lain dan bisa lebih membahasakannya dengan baik dan memiliki konteksnya. Saya merasa sangat puas dan ilmu yyang didapatkan juga sangat bermanfaat sekali bagi saya.
—I Wayan Dedek Surya Mahadipa
Good. Salah cara pandang terhadap sejarah arsitektur di Indonesia, mungkin memandang sejarah seperti memandang ‘mantan’, penuh luka dan kenangan terhadap kolonial Belanda :))
—Aria Zabdi
Sejarah arsitektur perlu diketahui, sehingga kita bisa membedakan dengan sejarah-sejarah yang lain, dan bisa mengambil hal-hal penting dan konstektual dari sejarah itu serta mengembangkan dengan menyesuaian ke konteks saat ini dan masa yang akan datang.
—Yulsi Munir
Materi dibawakan dengan lugas dan gamblang. Sangat menarik dan memberi pencerahan mengenai sejarah arsitektur.
—Ingrid D
Materi yang disampaikan memberikan pengetahuan dan perspektif yang berbeda meskipun saya jarang membaca literature sejarah dan tidak mengerti dengan beberapa istilah yang disampaikan namun cara penyampaian membuat apa yang disampaikan mudah dipahami dan menarik.
—Ersalina
Oke. Menarik. Selalu suka sesi diskusi karena hal-hal penting muncul terbahas di sesi itu.
—M Iqbal
Theory: Do and Don’t
Narasumber

Undi Gunawan adalah seorang pembelajar yang melakukan aktivitas belajarnya dengan mengajar. Aktivitas formal institusionalnya adalah mengajar di Program Studi Arsitektur, School of Design, Universitas Pelita Harapan. Rekam jejak pemikirannya dalam beberapa tingkatan dapat dicari di academia.edu, Instagram, Facebook dan serpihan-serpihan jejak digital di dalam jangkauan big-data jaringan informasi global.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 18.06.2020, diisi oleh Undi Gunawan, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Pernyataan:
Teori adalah sebuah aktivitas memandang.
Coba lanjutkan kalimat ini:
Pertemuan ini adalah pertemuan mengenai …
Jawaban:
a. Teori Arsitektur,
b. Teori pada Arsitektur,
c. Teori bagi Arsitektur,
d. Teori dari Arsitektur,
e. Teori dan Arsitektur,
f. Di atas semua benar,
g. Di atas semua tidak benar,
h. Di atas, sebagian yang benar.
i. Saya punya teori saya sendiri,
j. Pernyataan awal adalah salah, Saya punya pernyataan yang lain.
k. Multiple-choice koq sampai k ??? Ngaco !!!?!?!!!
Jawaban Anda akan didiskusikan pada pertemuan ini. Hal-hal pokok mengenai arsitektur akan dibenturkan dengan sudut pandang-sudut pandang sebuah entitas yang diberi nama t.e.o.r.i , sebuah aktivitas memandang, yang melahirkan pengetahuan atau sekedar cara kita merasakan keindahan.
Testimoni Peserta
Pemaparan yang menarik dan simpatik… Teori itu utk membawa pengembaraan kita ke sesuatu yang baik, dalam batasan-batasan kita.
—Aria Permana
Satu kata saja : Anti-mainstream.
—Indar Ariska
Soal Materi..Cocok dengan kuliah wacana, seperti moderator bilang, open ended discussion..pemateri juga sama dengan pemateri sebelum-sebelumnya..melemaskan kekakuan..
—Nugroho Ifadianto
Olah pikir adalah aktivitas hidup yang tidak pernah berakhir, begitu pula dengan berteori.
—Widriyakara Setiadi
Menarik sekali materinya. Membuka cakrawala baru tentang konektivitas teori dan imajinasi kita. Termasuk juga memberikan satu penekanan bahwa kebermaknaan teori tergantung sejauh maka seorang berani berimajinasi dan berkreasi tanpa takut batasan
—Nuruddin
Menggali seluk beluk teori secara makro, tidak hanya spesifik arsitektur.
—Finta Lissimia
Materi yang disampaikan oleh Pak Undi disuguhkan dengan media yang menarik, sehingga membuat tidak bosan ketika mendengarkan materi yang disampaikan. Materi yang disampaikan juga tidak kalah menarik, dengan mengambil aspek – aspek yang dari luar arsitektur.
—Vincent
Curation: Do and Don’t
Narasumber

Eka Swadiansa adalah principal dari Office of Strategic Architecture (OSA), founding member Global University for Sustainability (GU) dan kurator SPIRIT_45/47/55.
Sebagai kurator; ia telah mengkurasi roundtable arsitektur di the Rise of Asia 2018 (Universite Paris 1 Pantheon Sorbonne & Universite Le Havre du Normandie), SPIRIT_45 (Sinar Fontaine Bartholdi, Lyon & ENSA Paris La Villette, 2018) dan SPIRIT_47 (Lingnan University Hong Kong, 2019) lecture, conferece and exhibition series.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 26.06.2020, diisi oleh Eka Swadiansa, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Manakah yang seharusnya lebih dulu ada: konsep atau desain? Apakah benar hubungan antara konsep dan desain itu seperti ‘telur dan ayam’? Jawabannya bergantung pada persepsi masing-masing. Mengapa persepsi? Karena tidak ada aturan-aturan baku yang secara de jure bisa mengikat kemungkinan-kemungkinannya. Mungkinkah konsep dibuat setelah desain selesai digambar –atau bahkan lebih radikalnya– karya tersebut selesai dibangun? Secara de facto bisa saja. Namun dalam persepsi yang lebih sempit, hal ini kemudian berlanjut kepada pertanyaan seputar esensi dari dibuatnya konsep tersebut. Apakah kemudian konsep tersebut memiliki fungsi pengayaan makna dalam proses pengkaryaan obyek arsitekturnya? Ataukah kemudian ia hanya menjadi media justifikasi yang sebenarnya tidak memiliki koneksi apapun dengan proses pengkaryaan obyek tersebut? Apapun itu, sekali lagi secara de jure, keduanya tidak ada yang salah, juga tidak ada yang benar.
Setali tiga uang, manakah yang seharusnya lebih dulu ada: catatan kurasi atau obyek kurasi? Mungkinkah catatan kurasi dibuat sebelum adanya obyek kurasi? Jawabannya pun sama, semua tergantung pada persepsi yang dipilih. Kelas ini akan mediskusikan topik kurasi –salah satu ranah ‘paling abu-abu’ di dunia ‘arsitektur pinggiran’ mas kini– yang dalam persepsi nara sumber, praktiknya terasa kian mengkhawatirkan. Sebuah konsekuensi yang terjadi ketika aktifitas kurasi mulai jamak diobral sebagai prosesi yang minim makna. Semakin menjauh dari fungsinya sebagai media observasi karya dan atau proses pengkaryaannya; untuk sekedar menjadi justifikasi praktik-praktik komodifikasi eksibisi.
Testimoni Peserta
Padat & kompleks begitu banyak yang harus diserap… Sesi obrolan selalu menjadi favorit krn disitu proses pencernaan terjadi…
—Quartanti D
Kurasi adalah catatan bersama dalam perjalanan untuk menemukan jati diri yang berdasarkan objektivitas kolektivitas yang dilakukan secara berkesinambungan. Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri.
—Sandra Eka Febrina
Materi mudah diterima, cukup panjang, intens. Seperti harapan pada awal mendaftar, it’s getting better. As always, penutup dengan open-ended ini membuat saya semakin tidak tahu apa-apa sekaligus penasaran untuk mencari tahu apa yang saya dapatkan dari kelas ini. Perjalanan masih panjang, kelas-kelas ini menjadi kompasnya.
—Muhammad Fadhil Ardian
Materi yang disampaikan sangat menarik, pembahasan yang cukup ‘berat’ tapi mampu dibahas dengan sangat apik dan tidak membosankan, serta pesan mampu tersampaikan dengan baik. Waktu yang disiapkan sebenarnya sdh cukup panjang, tapi masih saja terasa begitu cepat..
—Weko Indira Romantiaulia
Materi menarik dan dilengkapi contoh-contoh praktis. Namun memang materi ini cukup baru untuk saya dan butuh waktu untuk mencerna lebih dalam lagi.
—George Marvin
Setelah mengikuti materi Kurasi yang disampaikan membuat mata saya terbuka dan keinginan saya untuk memperdalam arsitektur semakin kuat.
—Yanuarra H
Storytelling: Do and Don’t
Narasumber

Revianto Budi Santosa bercita-cita menjadi dalang sebelum akhirnya mempelajari arsitektur di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas McGill MontrÈal, dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Sejak tahun 1992 mengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia.
Bapak dua anak ini menulis buku Kotagede: Life between Walls; Trusmi: Berarsitektur yang Tak Abadi; Omah: Membaca Makna Rumah Jawa; dan Kudus: Sepenggal Yerusalem di Tanah Jawa. Saat ini sedang menyiapkan buku Spirituality in Space: The Architectural Legacy of the Wali in Java.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 03.07.2020, diisi oleh Revianto Budi Santosa, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
Menceritakan Arsitektur & Mengarsitekturkan Cerita
“Those who tell the stories rule society”
—Plato
Cerita adalah bagian penting dari kemanusiaan kita. Harari meyakini bahwa ciri terpenting manusia adalah bahasa dan kemampuan bahasa yang terpenting adalah untuk bercerita. Dengan bahasa kita bisa menyebut segala sesuatu di sekitar kita, tapi dengan bahasa juga kita bisa mengkomunikasikan bahkan meyakinkan orang lain tentang hal-hal yang tak serta merta dapat kita saksikan.
Dengan berbagi cerita maka manusia dapat menggalang solidaritas, menjalin kerjasama, serta membangun cita-cita dan idealita bersama. Budaya, bangsa dan agama adalah di antara gagasan-gagasan abstrak yang terbentuk karena kemampuan bercerita. Arsitektur menjadi perlu dibahasakan sebagai cerita ketika dia melampaui batas-batas kesehariannya. Suatu rumah bisa membuat penghuninya kerasan, tanpa perlu diceritakan kepada orang yang memang sehari-hari di situ. Tapi ketika penghuni ingin meyakinkan tentang perasaan kerasan itu kepada mereka yang tak pernah melihat dan menginap di dalamnya maka cerita diperlukan.
Sejumlah moda dalam membangun cerita arsitektur antara lain: a) figuratif, memberikan gambaran wujud; b) sensasional, memberikan gambaran perasaan; c) fiksional, memberikan gambaran imajinatif; atau d) representasional, memberikan gambaran tentang sesuatu selain rumah atau objek itu sendiri.
Arsitektur dapat menginspirasi cerita, namun cerita juga dapat menginspirasi arsitektur. Relasi timbal balik ini lah yang memungkinkan “cerita arsitektur” menjadi kaya dan beragam. Namun demikian, arsitektur tetap bukanlah entitas linguistik naratif karena arsitektur memiliki alur yang jauh lebih kompleks ketimbang cerita, serta arsitektur melibatkan pengalaman-pengalaman non-verbal yang tak sepenuhnya dapat diceritakan.
Testimoni Peserta
Materi disampaikan dengan cara yang menyenangkan namun tidak mengurangi esensi diskusi yang ingin disampaikan. moderator juga bisa membawa diskusi dengan baik sehingga diskusi sejalan dengan tema.
—Rakhmi Fitriani
Menarik dan pembicara banyak pengalaman yang menarik dan bisa membagi ilmu dengan santai, sehingga pendengar pun mudah menyimaknya.
—Mieke Choandi
Mengalir, cocok dengan temanya, bercerita.. dan seperti kuliah sebelumnya, memang open ending.. bukan mengakhiri dengan jawaban, tapi memperluas aternatif jawaban.. kendala ganguan sinyal ditutupi tanggapan kocak spontan dari pak revi.. dan jawaban beliau bisa lompat-lompat dimensinya.. sehingga gak nemu kekakuan saat mengulas..
—Nugroho Ifadianto
Acaranya santai dan setiap materi selalu berbobot, terima kasih Omah Library..
—Yunita Kesuma
Cara bercerita yang pas untuk menceritakan cara bercerita. Wawasan dan contoh terasa dekat dengan kita bahkan yang mungkin tidak tahu dengan contoh tersebut.
—Affi Khresna
Bagus, fresh, sesi Pak Revi tidak membosankan!
—Marchelia Gupita Sari
Sangat menarik… lucu menggelitik.. tapi sangat berisi.
—Diana Lisa
Materi tentang apa itu story bagaimana dan tentang story yang ada memberikan gamabaran yang jelas tentang story itu tersebut. materi yang di sampaikan menyenangkan tanpa mengurangi cara berfikirnya.
—Muhammad Syauqi
Seruu banget, jadi punya perspektif baru ttg storytelling, sebelumnya agak blm kebayang 🙂
—Ajani
Writing: Do and Don’t
Narasumber

Apurva Bose Dutta is an author, award-winning architectural journalist, curator, and editor, based in Bangalore, India. Her professional journey of fifteen years has seen global collaborations with multimedia publication houses, firms, organisations, and educational institutions affiliated with architecture, design, and building in India, the UK, the US, Italy, Indonesia, Singapore, Karachi, and Canada. Through her various initiatives, Apurva has persistently been working towards increasing the visibility of architectural writing in India. She is credited with the conceptualisation of the first magazine issue solely dedicated to architectural journalism in India in 2013.
Video dan Sinopsis Kuliah
Lecture held on 10.07.2020 speaker: Apurva Bose Dutta, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
The profession of architecture has become representative of the society we live in. Arguably the most public art that affects human psychology most profoundly, architecture also happens to be the least discussed. Everyone does care about architecture, but the lack of a common language to talk about the built environment renders the profession as less understood.
Over the years, architecture-design writing has emerged as a language, which helps to interpret, identify, critique and celebrate the built environment, and provide a vision to create demand for better buildings, leading to better societies and culminating in better living. In this case, critical thinking leads to powerful architectural writing, which becomes the platform for critical and enlightening discourses on architecture, city-building and nation-building.
What does writing signify, and what are the mandates for it? Clear thinking, absorbing important ideas, correctly interpreting them, critiquing and creating opinions from them are just some of the mandates needed for writing. Writing should not only become a medium to communicate and educate about architecture and design; it should rightly be able to raise a voice and initiate a change. This is especially critical for Asian countries, where architecture and design remain a much-less discussed subject.
In her talk, Ar. Apurva Bose Dutta will discuss how writing should be able to assume more significant roles and responsibilities and contribute to a robust discourse on architecture- design.
Testimoni Peserta
Very nice presentation, learn a lot! Jadi semangat buat nerusin apa yang saya lakukan.
—Aldea
nice perspective from other aspect of architecture. Yet still maintain to stay relevant. It explain the creative process of producing writing instead of building
—Finta Lissimia
A very interesting presentation and story telling about turning a lonely road of architecture (writing) into a serious career option, which of course never been that easy. Encouraging me enough to do some observes about architecture journalism that can be intersect with architectural curatorial and conceptual thinking.
—Yuramia Oksilasari
Enjoyable lecture! Would love to hear more about the role of writings in the larger scheme. Would love to hear more about the “phase of detachment”. Really nice to meet you Apurva!
—Rezki Dikaputera
Menarik, Indonesian memerlukan penulis yang tidak hanya bagus tapi cerdas dan Bijaksana. This is a great start to learn how to write and then write 🙂
—Yuliana Susi Susanti
Very clear and thorough, like reading a book
—Priscilla
Philosophy: Do and Don’t
Narasumber

Johannes Adiyanto adalah dosen dari Prodi Arsitektur FT UNSRI. Seorang penjelajah pengetahuan arsitektur sehingga menyebut dirinya Cantrik Kehidupan. Lulus sarjana dari Universitas Merdeka Malang dan lulus program magister dari ITS Surabaya dengan topik tesis ruang arsitektural Jawa dengan dasar Lakon wayang. Pada Disertasi – yang juga diselesaikan di ITS Surabaya – dengan judul “Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada Arsitektur Jawa,” beliau mempelajari keterkaitan antara arsitektur dengan filsafat, terutama filsafat Jawa.
Fokus perhatian penelitian Johannes saat ini adalah pengembangan pendidikan arsitektur dan sejarah perkembangan kota-kota kolonial di Indonesia serta perkembangan arsitekturnya.
Video dan Sinopsis Kuliah
Kuliah tanggal 17.07.2020, diisi oleh Johannes Adiyanto, moderator: Realrich Sjarief, host: Satria A Permana
“Cogito Ergo Sum”
—Rene Descartes
‘Jargon’ yang selalu membayangi pembahasan filsafat. Tapi apakah keberadaan seorang manusia hanya muncul saat dia berpikir? Tolak ukur manusia saat dia menggunakan otaknya? Bagaimana dengan organ lain seperti perasaan? Apakah otak rasional lebih tinggi dari pada perasaan hati?
Sejumlah pertanyaan dapat dilontarkan dari sebuah kalimat pendek Descartes, dan itulah esensi dari filsafat. Dalam teori filsafat terdapat empat nilai yang melandasinya, yaitu nilai otologik jika berbicara tentang obyek; nilai epistemologi jika berbicara tentang metode; nilai estetika jika berbincang tentang sistem; dan nilai etik jika berbicara tentang kebenaran yang dicapai.
Dari sini nampaknya filsafat adalah sebuah pengetahuan yang rumit dan membuat pusing kepala. Hal itu hanya nampaknya. Filsafat sebenarnya dapat ditempatkan sebagai sebuah tuntunan untuk berpikir lebih jernih, atau dalam tataran akademik, adalah cara berpikir ilmiah.
Dalam arsitektur, ada serial yang diterbitkan oleh Routledge dengan judul “Thinkers for Architects,” yang sampai akhir tahun 2019 ada 16 judul. “Architects have often looked to thinkers in philosophy and theory to find design ideas or in search of a critical framework for practice. Yet architects, and students of architecture, can struggle to navigate thinkers’ writings. It can be daunting to approach original texts with little appreciation of their contexts. And existing introductions seldom explore architectural material in any detail”.
Perspektif diatas adalah perspektif ilmiah dan nalar. Bagaimana jika perspektifnya perasaan, bukankah manusia tercipta dengan akal dan rasa? Mengapa ada ‘perasaan’ di sana, karena esensi filsafat adalah ‘cinta kebijaksanaan’. Ada kecintaan dan ada kebijakan, yang pasti tidak didapat dari ukuran rasional belaka. Itu yang membedakan antara manusia dengan artificial intelligence, sehingga sampai detik ini ‘manusia’ sebagai entitas yang utuh ‘belum’ tergantikan dengan aplikasi/sistem buatan/robot.
Bagaimana menjadi manusia yang punya perasaan?
Inilah yang membedakan dengan ‘ajaran Descartes’. Olah pikir adalah olah yang bersifat dialogis, olah yang mengadu ‘kemampuan pikir’ dengan ‘lawan pikirnya’. Ada pertarungan, ada diskursus. Sedangkan perasaan adalah lebih ke diri sendiri. Apa gunanya diri itu hidup? Untuk apa hidup? Apa yang bisa dikembangkan dari diri? Itulah yang akan diperbicangkan dan digali.
Testimoni Peserta
Materi yang disampaikan menarik, dengan disajikan contoh – contoh referensi yang baik.
—Vincent
Bikin bingung haha, tapi menarik Karena mengajak berfikir
—Yuliana Susi Susanti
Membuka pemahaman baru yang perlu direnungkan lebih lanjut.
—George Marvin
Philosophy adalah sebuah dialektika baik kepada diri sendiri maupun sesama dalam rangka kecintaan terhadap ilmu dan kebijakan.
—Sandra Eka Febrina
Terima kasih telah mengunjungi pameran virtual OMAH Library, Memahami Arsitektur: 7 Discourses Do and Don’t. Kami menghargai pendapat dari teman-teman, segala pesan, saran atau kritik dapat dituliskan melalui halaman yang tersedia, agar pameran atau acara OMAH ke depannya bisa menjadi lebih baik.