Kepada siapa, dan apa, kita bertanggung jawab? Partisipasi adalah bagian dari leksikon pembangunan masyarakat yang tumbuh di pertengahan abad 20 dan kemudian menjadi bagian dari model pembangunan pasca kolonial. Pergeseran budaya dalam praktik arsitektur di tahun 1960an, seiring dengan meredupnya CIAM (The Congrès Internationaux d’architecture Moderne) dan berkembangnya pasca modernisme, mendorong para arsitek seperti Team X (grup arsitek dalam kongres CIAM, 1953) untuk mempertanyakan kembali posisi manusia dan peran masyarakat dalam praktik arsitektur.
Dampak pergolakan politik terhadap arsitektur
Tahun 1960-an adalah dekade penuh gejolak politik yang menggoyahkan kemapanan dan status quo. Sebut saja Mai 1968 di Perancis dan 1965 di Indonesia. Di lingkup arsitektur, pameran seperti Architecture without Architects (Bernard Rudofsky, 1964) menyorot arsitektur di luar khazanah Euro dan Anglo-sentris. Di tahun 1968, John Turner menulis Housing as A Verb sebagai refleksi dari penelitiannya tentang keswadayaan masyarakat miskin di Peru dalam menciptakan permukimannya.
Indonesia di paruh kedua abad 20
Sementara itu di Indonesia, paruh kedua abad 20 menunjukan beragam upaya untuk menciptakan moda pembangunan yang melibatkan masyarakat secara langsung baik formal maupun informal. Proyek seperti Kampung Improvement Program menjadi patokan internasional dalam pelibatan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur.
Kampung dan konteks partisipasi
Kampung menjadi sebuah konteks titik temu dalam pengembangan moda kerja partisipatif. Kampung juga menjadi area terkontestasi, seperti di pengalaman Romo Mangunwijaya mendampingi warga di Kali Code di tahun 1980an yang acap kali menjadi rujukan primer praktik arsitektur partisipatif. Tapi apa maksudnya? Lalu kenapa “partisipasi”, dan bukan “gotong royong”? Apa maksud dari “pendampingan warga” di sini?
Memahami kritik partisipasi arsitek di omah library?
Kritik terhadap partisipasi dibukukan oleh Cooke & Kothari di Participation: The New Tyranny? (2001) Miessen, seorang arsitek, melalui bukunya Crossbenching (2016) menggugat praktik “consensus-driven” yang melihat konsensus sebagai syarat partisipasi. Posisi yang diilhami dari filsafat pasca-fondasional (seperti Ranciere dan Mouffe) ini berupaya untuk menghadirkan kembali agensi individu dan relasi sosio-spasialnya terhadap komunitasnya. Struktur kuasa kerap menjadi tema utama dalam kritik. Namun kontrol oleh masyarakat (citizen control) yang diposisikan oleh Arnstein (1969) sebagai puncak dari partisipasi masyarakat memiliki resiko kegagalan proyek—dan siapa yang akan bertanggung jawab?
Melalui sesi kali ini, kita akan mencoba untuk menelaah secara singkat tentang konsepsi dan kritik terhadap praktik partisipatif. Kemudian dilanjuti dengan studi kasus Kampung Susun Kunir dan praktik arsitektur melalui model pendampingan.

Untuk dapat mengakses kelas Fight for Architecture #8 – Partisipasi?
anda perlu melakukan donasi melalui tautan berikut:
Akses kelas akan dikirimkan ke email atau Whatsapp yang didaftarkan.
Pembicara
Kamil Muhammad
Kamil Muhammad adalah design director dari studio desain/riset pppooolll, salah satu pendiri Architecture Sans Frontieres-Indonesia, dan koordinator arsitektur untuk Kampung Susun Kunir. Praktiknya telah dihargai di LafargeHolcim Award Asia Pacific (2017), ASF-INT Award (2017), finalis untuk Future Park, Melbourne (2019), dan terpilih untuk What If? Lab, Eindhoven (2018) dan Reimagining Museums for Climate Action, Glasgow (2021). Kamil juga adalah ko-kurator Indonesian Architects Week 2021 Rio de Janeiro-Bandung. Riset yang telah dijalani berkisar di tema informalitas, urbanisme, dan partisipasi di arsitektur. Ketertarikannya saat ini adalah tentang air dan infrastruktur sosialnya.
Berapa kelas wacana Fight for Architecture in Broken Ecosystem lainnya bisa diakses di bawah ini: